HUKUM ISLAM TENTANG NIKAH SIRI

Keinginan pemerintah untuk memberikan fatwa hukum yang tegas terhadap pernikahan siri, kini telah dituangkan dalam rancangan undang-undang tentang perkawinan. Sebagaimana penjelasan Nasarudin Umar, Direktur Bimas Islam Depag, RUU ini akan memperketat pernikahan siri, kawin kontrak, dan poligami.

Berkenaan dengan nikah siri, dalam RUU yang baru sampai di meja Setneg, pernikahan siri dianggap perbuatan ilegal, sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta rupiah. Tidak hanya itu saja, sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah siri, poligami, maupun nikah kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara. Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara. [Surya Online, Sabtu, 28 Februari, 1009]

Sebagian orang juga berpendapat bahwa orang yang melakukan pernikahan siri, maka suami isteri tersebut tidak memiliki hubungan pewarisan. Artinya, jika suami meninggal dunia, maka isteri atau anak-anak keturunannya tidak memiliki hak untuk mewarisi harta suaminya. Ketentuan ini juga berlaku jika isteri yang meninggal dunia.

Lalu, bagaimana pandangan Islam terhadap nikah siri? Bolehkah orang yang melakukan nikah siri dipidanakan? Benarkah orang yang melakukan pernikahan siri tidak memiliki hubungan pewarisan?
Definisi dan Alasan Melakukan Pernikahan Siri
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan; Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya. Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.

Adapun hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut.
Hukum Pernikahan Tanpa Wali
Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].
Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].
Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها
”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.
Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil
Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara
Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.
Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.
Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut; pertama, meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya; kedua, mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya; ketiga, melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.
Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.
Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut.
Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.
Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.
Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah swt;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.[TQS AL Baqarah (2):
Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan berwenang mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan oleh khalifah atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam urusan-urusan tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan berhak mendapatkan sanksi mukhalafat. Misalnya, seorang khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum, dan melarang masyarakat untuk membangun atau menanam di sampingnya pada jarak sekian meter. Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah boleh memberi sanksi kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya.
Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan takaran, timbangan, serta ukuran-ukuran khusus untuk pengaturan urusan jual beli dan perdagangan. Ia berhak untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melanggar perintahnya dalam hal tersebut. Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk kafe-kafe, hotel-hotel, tempat penyewaan permainan, dan tempat-tempat umum lainnya; dan ia berhak memberi sanksi bagi orang yang melanggar aturan-aturan tersebut.
Demikian juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan. Khalifah boleh saja menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya, aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara berhak memberikan sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan negara. Pasalnya, orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara -- padahal negara telah menetapkan aturan tersebut—telah terjatuh pada tindakan mukhalafat. Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan orang yang diberinya kewenangan.

Yang menjadi catatan di sini adalah, pihak yang secara syar’iy absah menjatuhkan sanksi mukhalafat hanyalah seorang khalifah yang dibai’at oleh kaum Muslim, dan orang yang ditunjuk oleh khalifah. Selain khalifah, atau orang-orang yang ditunjuknya, tidak memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi mukhalafat. Atas dasar itu, kepala negara yang tidak memiliki aqad bai’at dengan rakyat, maka kepala negara semacam ini tidak absah menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada rakyatnya. Sebab, seseorang baru berhak ditaati dan dianggap sebagai kepala negara jika rakyat telah membai’atnya dengan bai’at in’iqad dan taat. Adapun orang yang menjadi kepala negara tanpa melalui proses bai’at dari rakyat (in’iqad dan taat), maka ia bukanlah penguasa yang sah, dan rakyat tidak memiliki kewajiban untuk mentaati dan mendengarkan perintahnya. Lebih-lebih lagi jika para penguasa itu adalah para penguasa yang menerapkan sistem kufur alas demokrasi dan sekulerisme, maka rakyat justru tidak diperkenankan memberikan ketaatan kepada mereka.
Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.
Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda;
حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah ; (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2) memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.
Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.

Bahaya Terselubung Surat Nikah
Walaupun pencatatan pernikahan bisa memberikan implikasi-implikasi positif bagi masyarakat, hanya saja keberadaan surat nikah acapkali juga membuka ruang bagi munculnya praktek-praktek menyimpang di tengah masyarakat. Lebih-lebih lagi, pengetahuan masyarakat tentang aturan-aturan Islam dalam hal pernikahan, talak, dan hukum-hukum ijtimaa’iy sangatlah rendah, bahwa mayoritas tidak mengetahui sama sekali. Diantara praktek-praktek menyimpang dengan mengatasnamakan surat nikah adalah;
Pertama, ada seorang suami mentalak isterinya sebanyak tiga kali, namun tidak melaporkan kasus perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga keduanya masih memegang surat nikah. Ketika terjadi sengketa waris atau anak, atau sengketa-sengketa lain, salah satu pihak mengklaim masih memiliki ikatan pernikahan yang sah, dengan menyodorkan bukti surat nikah. Padahal, keduanya secara syar’iy benar-benar sudah tidak lagi menjadi suami isteri.
Kedua, surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan atau hubungan tidak syar’iy antara suami isteri yang sudah bercerai. Kasus ini terjadi ketika suami isteri telah bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga masih memegang surat nikah. Ketika suami isteri itu merajut kembali hubungan suami isteri –padahal mereka sudah bercerai–, maka mereka akan terus merasa aman dengan perbuatan keji mereka dengan berlindung kepada surat nikah. Sewaktu-waktu jika ia tertangkap tangan sedang melakukan perbuatan keji, keduanya bisa berdalih bahwa mereka masih memiliki hubungan suami isteri dengan menunjukkan surat nikah.

Inilah beberapa bahaya terselubung di balik surat nikah. Oleh karena itu, penguasa tidak cukup menghimbau masyarakat untuk mencatatkan pernikahannya pada lembaga pencatatan sipil negara, akan tetapi juga berkewajiban mendidik masyarakat dengan hukum syariat –agar masyarakat semakin memahami hukum syariat–, dan mengawasi dengan ketat penggunaan dan peredaran surat nikah di tengah-tengah masyarakat, agar surat nikah tidak justru disalahgunakan.
Selain itu, penguasa juga harus memecahkan persoalan perceraian yang tidak dilaporkan di pengadilan agama, agar status hubungan suami isteri yang telah bercerai menjadi jelas. Wallahu a’lam bi al-shawab.

BAHAYANYA PERGAULAN BEBAS YANG MERUSAK MORAL BANGSA

Semakin tingginya frekuensi arus globalisasi di era industrialisasi yang sudah mengglobal serta arus modernisasi dan sekularisasi sangat berpengaruh besar terhadap pergaulan bebas dengan lain jenis (kumpul kebo), baik di perkotaan maupun di pedesaan.

Kondisi semacam ini juga sangat mempengaruhi terhadap ideologi masyarakat, sehingga ada sebagian mereka beranggapan, kalau tidak bergaul dengan selain jenis maka di nilai ketinggalan zaman. Inilah salah satu dampak arus globalisasi. Oleh karena itu, dalam kondisi semacam ini manusia di tuntut untuk lebih berhati-hati dalam bertindak.
Kalau kita lacak secara fenominal bahwa pergaulan di masa sekarang- di berbgai tempat-khususnya di perkotaan- seakan-akan sudah menjadi bagian kultur yang di akui keberadaannya dan tidak bisa di hindari lagi, bahkan di anggap hal yang biasa-bisa oleh kalangan remaja.

Padahal kalau di lihat di lapangan, pergaulan ini sangat meresahkan masyarakat, bahkan kalau kalangan remaja terus di biasakan hal semacam ini tanpa ada kesadaran dan pendidikan yang berorientasikan pada moral maka bagaimana dengan bangsa yang akan datang.

Sangat tragis, ternyata pergaulan bebas itu tidak hanya sebatas bergaul melainkan terkadang mendorong untuk melakukan hal yang lebih tidak di sukai oleh agama, seperti, bercumbu rayu, berciuman dan bahkan terjebak dalam perzinahan. Oleh karena itu, tanpa ada sekat-sekat pembatasan antara wanita dan laki-laki yang bukan muhrim maka dampak dan bahayanya seperti itu.

Kalau dalam ajaran islam, pergaulan bebas itu tidak di perbolehkan, bahkan melihat wanita yang bukan muhrim tanpa ada maksud-maksud yang di perbolehkan jug tidak boleh. Semisal saling melihat dan lainnya. Karena hal itu merupakan awal untuk melangkah pada garis selanjutnya seperti janjian dsb. Islam membolehkan bergaul dengan wanita yang bukan muhrimnya apabila ada alasan yang tepat menurut syariat, seperti ingin mengawini, karena sebelumnya di anjurkan melihat si wanita itu, cocok tidaknya.

Di masa sekarang, di Barat, hususnya di Eropa, pergaulan bebas sangatlah dominan bahkan homo dan lesbian sudah menjadi bagian kultur mereka. Ini tidak asing lagi di mata mereka, tapi ini sangat meresahkan masyarakat di sana sebab kasus aborsi di sana makin hari makin meningkat. Ini adalah gambaran dari pengaruh dan bahaya pergaulan bebas.

Secara mendasar ternyata hal semacam ini karena kebebasan di artikan bebas secara mutlak tanpa ada butir-butir aturan yang menjaga jarak antara mereka. Di sadari atau tidak kita harus menjaga jarak dalam pergaulan terutama pergaulan dengan lain jenis. Semoga Allah melindungi kita. Amin

KISAH MENGHARUKAN ROSULULLOH MUHAMMAD SAW

Kisah ini terjadi pada diri Rasulullah shollallohu ‘alayhi wasallam sebelum meninggal.
Rasulullah telah jatuh sakit agak lama, sehingga kondisi beliau sangat lemah.
 Pada suatu hari Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam meminta Bilal memanggil semua sahabat datang ke Masjid. Tidak lama kemudian, penuhlah Masjid dengan para sahabat. Semuanya merasa rindu setelah agak lama tidak mendpt taushiyah dari Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam
Beliau duduk dg lemah di atas mimbar. Wajahnya terlihat pucat, menahan sakit yang tengah dideritanya.
 Kemudian Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai sahabat-sahabatku semua. Aku ingin bertanya, apakah telah aku sampaikan semua kepadamu, bahwa sesungguhnya Allah subhanaahu wa ta ala itu adalah satu-satunya Rabb yg layak di sembah?”
Semua sahabat menjawab dengan suara bersemangat, ” Benar wahai Rasulullah, Engkau telah sampaikan kepada kami bahwa sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta ‘ala adalah satu-satunya Rabb yang layak disembah.”
Kemudian Rasulullah  bersabda:
“Persaksikanlah ya Allah. Sesungguhnya aku telah menyampaikan amanah ini kepada  mereka.”
Kemudian Rasulullah bersabda lagi, dan setiap apa yg Rasulullah sabdakan selalu dibenarkan oleh para sahabat.
Akhirnya sampailah kepada satu pertanyaan yang menjadikan para sahabat sedih dan terharu. Rasulullah  bersabda:
“Sesungguhnya, aku akan pergi menemui  Allah. Dan sebelum aku pergi, aku ingin menyelesaikan segala urusan dengan manusia. Maka aku ingin bertanya kepada kalian semua. Adakah aku berhutang kepada kalian? Aku ingin menyelesaikan hutang tersebut. Karena aku tidak mau bertemu dengan Allah dalam keadaan berhutang dengan  manusia.”
Ketika itu semua sahabat diam, dan dalam  hati masing-masing berkata “Mana ada Rasullullah berhutang dengan kita? Kamilah yg banyak berhutang kepada  Rasulullah”.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam mengulangi pertanyaan itu sebanyak 3 kali.
Tiba-tiba bangun seorang lelaki yg bernama UKASYAH, seorang sahabat mantan preman sebelum masuk Islam, dia berkata:
“Ya Rasulullah! Aku ingin sampaikan masalah ini. Seandainya ini dianggap hutang, maka aku minta engkau selesaikan. Seandainya bukan hutang, maka tidak perlulah engkau berbuat apa-apa”.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Sampaikanlah  wahai Ukasyah”.
Maka Ukasyah pun mulai bercerita:
“Aku masih ingat ketika perang Uhud dulu, satu ketika engkau menunggang kuda, lalu engkau pukulkan cambuk ke belakang kuda. Tetapi cambuk tersebut tidak kena pada belakang kuda, tapi justru terkena pada dadaku, karena ketika itu aku berdiri di
belakang kuda yg engkau tunggangi wahai Rasulullah”.
Mendengar itu, Rasulullah  berkata: “Sesungguhnya itu adalah hutang wahai Ukasyah. Kalau dulu aku pukul engkau, maka hari ini aku akan terima hal yg sama.”
Dengan suara yg agak tinggi, Ukasyah berkata: “Kalau begitu aku ingin segera melakukannya wahai Rasulullah.”
Ukasyah seakan-akan tidak merasa bersalah mengatakan demikian. Sedangkan ketika itu sebagian sahabat berteriak marah pada Ukasyah. “Sungguh engkau tidak berperasaan Ukasyah. bukankah Baginda sedang sakit..!?”
Ukasyah tidak menghiraukan semua itu. Rasulullah  meminta Bilal mengambil cambuk di rumah anaknya Fatimah.
Bilal meminta cambuk itu dari Fatimah, kemudian Fatimah bertanya: “Untuk apa Rasulullah meminta cambuk ini wahai Bilal?”
Bilal menjawab dg nada sedih: “Cambuk  ini akan digunakan Ukasyah utk memukul Rasulullah”
Terperanjat dan menangis Fatimah seraya berkata:
“Kenapa Ukasyah hendak pukul ayahku Rasulullah? Ayahku sedang sakit, kalau mau mukul, pukullah aku anaknya”.
Bilal menjawab: “Sesungguhnya ini adalah urusan antara mereka berdua”.
Bilal membawa cambuk tersebut ke Masjid lalu diberikan kepada Ukasyah.
Setelah mengambil cambuk, Ukasyah menuju ke hadapan Rasulullah. Tiba-tiba Abu bakar berdiri menghalangi Ukasyah sambil berkata: “Ukasyah..! kalau kamu hendak memukul, pukullah aku. Aku orang yg pertama beriman dengan apa yg Rasulullah  sampaikan. Akulah sahabtnya di kala suka dan duka. Kalau engkau hendak memukul, maka pukullah aku”.
Rasulullah :  “Duduklah wahai Abu Bakar. Ini urusan antara aku dengan Ukasyah”.
Ukasyah menuju kehadapan Rasulullah. Kemudian Umar berdiri menghalangi Ukasyah sambil berkata:
“Ukasyah..! kalau engkau mau mukul, pukullah aku. Dulu memang aku tidak suka mendengar nama Muhammad, bahkan aku pernah berniat untuk menyakitinya, itu dulu. Sekarang tidak boleh ada seorangpun yg boleh menyakiti Rasulullah Muhammad. Kalau engkau berani menyakiti Rasulullah, maka langkahi dulu mayatku..!.”
Lalu dijawab oleh Rasulullah :
“Duduklah wahai Umar. Ini urusan antara aku dg Ukasyah”.
Ukasyah menuju kehadapan Rasulullah, tiba2 berdiri Ali bin Abu Talib sepupu sekaligus menantu Rasulullah .
Dia menghalangi Ukasyah sambil berkata: “Ukasyah,  pukullah aku saja. Darah yg sama mengalir pada tubuhku ini wahai Ukasyah”.
Lalu dijawab oleh Rasulullah :
“Duduklah wahai Ali, ini urusan antara aku dengan Ukasyah” .
Ukasyah semakin dekat dg Rasulullah. Tiba-tiba tanpa disangka, bangkitlah kedua cucu kesayangan Rasulullah yaitu Hasan dan Husen. Mereka berdua memegangi tangan Ukasyah sambil memohon. “Wahai Paman, pukullah kami Paman. Kakek kami sedang sakit, pukullah kami saja wahai Paman. Sesungguhnya kami ini cucu kesayangan Rasulullah, dengan memukul kami sesungguhnya itu sama dengan menyakIiti kakek kami, wahai Paman.”
Lalu Rasulullah  berkata: “Wahai cucu-cucu kesayanganku duduklah kalian. Ini urusan Kakek dg Paman Ukasyah”.
Begitu sampai di tangga mimbar, dengan lantang Ukasyah berkata:
“Bagaimana aku mau memukul engkau ya Rasulullah. Engkau duduk di atas dan aku di bawah. Kalau engkau mau aku pukul, maka turunlah ke bawah sini.”
Rasulullah  memang manusia terbaik. Kekasih Allah itu meminta beberapa sahabat memapahnya ke bawah. Rasulullah didudukkan pada sebuah kursi, lalu dengan suara tegas Ukasyah berkata lagi:
“Dulu waktu engkau memukul aku, aku tidak memakai baju,  Ya Rasulullah”
Para sahabat sangat geram mendengar perkataan Ukasyah.
Tanpa berlama-lama dalam keadaan lemah, Rasulullah membuka bajunya. Kemudian terlihatlah tubuh Rasulullah yg sangat indah, sedang beberapa batu terikat di perut Rasulullah pertanda Rasulullah sedang menahan lapar.
Kemudian Rasulullah  berkata:
“Wahai Ukasyah, segeralah dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Nanti Allah akan murka padamu.”
Ukasyah langsung menghambur menuju  Rasulullah , cambuk di tangannya ia buang jauh-jauh, kemudian ia peluk tubuh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam seerat-eratnya. Sambil menangis sejadi-sejadinya, Ukasyah berkata:
“Ya Rasulullah, ampuni aku,  maafkan aku, mana ada manusia yang sanggup menyakiti engkau ya Rasulullah. Sengaja aku melakukannya agar aku dapat merapatkan tubuhku dg tubuhmu. Seumur hidupku aku bercita-bercita dapat memelukmu. Karena sesungguhnya aku tahu bahwa tubuhmu tidak akan dimakan oleh api neraka. Dan sungguh aku takut dengan api neraka. Maafkan aku ya Rasulullah…”
Rasulullah dg senyum berkata:
“Wahai sahabat-sahabtku semua, kalau kalian ingin melihat ahli Surga, maka lihatlah Ukasyah..!”
Semua sahabat meneteskan air mata. Kemudian para sahabat
bergantian memeluk Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam .
*****
Semoga tetesan air mata ini salah satu bukti kecintaan kita kepada kekasih Allah Ta’ala….
Allahumma sholli ‘alaa Muhammad.
Allahumma sholli ‘alayhi wassalam.

BAPAK MATEMATIKA TERNYATA TOKOH MUSLIM

 pejuang pendidikan
Al-Khawarizmi dan Kitab Al-Khawarizmi yang bernama lengkap Muḥammad bin Musa al-Khawarizmi adalah seorang ahli matematika, astronomi, astrologi, dan geografi yang berasal dari Persia. Lahir sekitar tahun 780 di Khwārizm (sekarang Khiva, Uzbekistan) dan wafat sekitar tahun 850 di Baghdad. Hampir sepanjang hidupnya, ia bekerja sebagai dosen di Sekolah Kehormatan di Baghdad
pejuang pendidikan
Buku pertamanya, al-Jabar, adalah buku yang membahas solusi sistematik dari linear dan notasi kuadrat. Sehingga ia disebut sebagai Bapak Aljabar. Translasi bahasa Latin dari Aritmatika beliau, yang memperkenalkan angka India, kemudian diperkenalkan sebagai Sistem Penomoran Posisi Desimal di dunia Barat pada abad ke 12. Ia merevisi dan menyesuaikan Geografi Ptolemeus sebaik mengerjakan tulisan-tulisan tentang astronomi dan astrologi.

Kontribusi beliau tak hanya berdampak besar pada matematika, tapi juga dalam kebahasaan. Kata Aljabar berasal dari kata al-Jabr, satu dari dua operasi dalam matematika untuk menyelesaikan notasi kuadrat, yang tercantum dalam buku beliau. Kata logarisme dan logaritma diambil dari kata Algorismi, Latinisasi dari nama beliau. Nama beliau juga di serap dalam bahasa Spanyol Guarismo dan dalam bahasa Portugis, Algarismo yang berarti digit.

Angka 0 (Nol)
pejuang pendidikan
Selain penemu Logaritma dan Aljabar, Al Khawarizmi juga dikenal sebagai penemu angka 0 (nol)  yang dalam bahasa Arab disebut sifr. Angka nol baru dikenal dan dipergunakan orang Barat sekitar 250 tahun setelah ditemukan oleh Al Khawarizmi. Sebelumnya para ilmuwan mempergunakan abakus, semacam daftar yang menunjukkan satuan, puluhan, ratusan, ribuan, dan seterusnya, untuk menjaga agar setiap angka tidak saling tertukar dari tempat yang telah ditentukan dalam hitungan.
pejuang pendidikan

MENJAGA AGAR SAHABAT SEJATI TIDAK PUTUS

Mencari teman baru memang penting, namun menjaga persahabatan juga tidak kalah penting.

1. Fleksibel
Fleksibel merupakan cara paling pamungkas agar hubungan pertemanan kamu bertahan abadi selamanya. Tanpa adanya rasa fleksibel, kamu akan kesulitan untuk menerima perubahan sifat maupun perilaku sahabat kamu sendiri. Sebaiknya, sikapi perubahan yang dilakukan atau terjadi pada sahabat dengan se-fleksibel mungkin.

2. Komitmen

Akan sia-sia saja apabila kamu berharap persahabatan akan bisa bertahan lama namun tidak mempunyai komitmen yang kuat. Komitmen adalah landasan dasar dalam hubungan pertemanan. Apabila kamu memiliki komitmen yang tinggi, maka kamu bisa menaklukkan berbagai macam permasalahan yang muncul dalam persahabatan.

3. Sabar

Perbedaan status atau perbedaan lainnya terkadang menjadi masalah besar yang sering muncul dalam sebuah pertemanan. Apabila kamu tidak memiliki kesabaran dalam menghadapi perbedaan, pertemananpun bisa pecah.

4. Komunikasi

Baik dalam keluarga maupun dalam persahabatan, komunikasi yang terjalin dengan baik sangat dibutuhkan untuk memecahkan konflik dalam sebuah persahabatan. Dengan komunikasi, kamu akan bisa memahami apa yang diinginkan teman, begitu juga sebaliknya teman akan tau keinginan kamu. Walaupun terkadang masalahnya kecil, segeralah untuk dikomunikasikan.

5. Jaga keseimbangan
Supaya persahabatan kamu makin sehat, jagalah keseimbangan hubungan. Maksudnya, kamu harus bisa memperlakukan teman kamu itu seperti kamu ingin diperlakukan. Walaupun kedengarannya mudah, namun hal ini lumayan sulit dalam kenyataannya. Kuncinya adalah mencoba memahami terlebih dahulu kondisi temanmu tersebut.

PEJUANG PENDIDIKAN ISLAM JAMAN DULU

PEJUANG PENDIDIKAN ISLAM JAMAN DULU


1. IBNU SINA, BAPAK KEDOKTERAN MODERN
Syeikhur Rais, Abu Ali Husein bin Abdillah bin Hasan bin Ali bin Sina, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Sina atau Avicenna di dunia barat, lahir pada tahun 370 hijriyah di sebuah desa bernama Khormeisan dekat Bukhara. Sejak masa kanak-kanak, Ibnu Sina yang berasal dari keluarga bermadzhab Ismailiyah sudah akrab dengan pembahasan ilmiah terutama yang disampaikan oleh ayahnya. Kecerdasannya yang sangat tinggi membuatnya sangat menonjol sehingga salah seorang guru menasehati ayahnya agar Ibnu Sina tidak terjun ke dalam pekerjaan apapun selain belajar dan menimba ilmu.
Ia juga seorang penulis yang produktif dimana sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan pengobatan. Bagi banyak orang, beliau adalah "Bapak Pengobatan Modern" dan masih banyak lagi sebutan baginya yang kebanyakan bersangkutan dengan karya-karyanya di bidang kedokteran. Karyanya yang sangat terkenal adalah Qanun fi Thib yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad.
Dia adalah pengarang dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar. Banyak di antaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran. Dia dianggap oleh banyak orang sebagai "bapak kedokteran modern." George Sarton menyebut Ibnu Sina "ilmuwan paling terkenal dari Islam dan salah satu yang paling terkenal pada semua bidang, tempat, dan waktu." pekerjaannya yang paling terkenal adalah The Book of Healing dan The Canon of Medicine, dikenal juga sebagai sebagai Qanun (judul lengkap: Al-Qanun fi At Tibb).

PEJUANG PENDIDIKAN ISLAM JAMAN DULU

2. IBNU RUSYD

Abu Walid Muhammad bin Rusyd lahir di Kordoba (Spanyol) pada tahun 520 Hijriah (1128 Masehi). Ayah dan kakek Ibnu Rusyd adalah hakim-hakim terkenal pada masanya. Ibnu Rusyd kecil sendiri adalah seorang anak yang mempunyai banyak minat dan talenta. Dia mendalami banyak ilmu, seperti kedokteran, hukum, matematika, dan filsafat. Ibnu Rusyd mendalami filsafat dari Abu Ja'far Harun dan Ibnu Baja.
Ibnu Rusyd adalah seorang jenius yang berasal dari Andalusia dengan pengetahuan ensiklopedik. Masa hidupnya sebagian besar diberikan untuk mengabdi sebagai "Kadi" (hakim) dan fisikawan. Di dunia barat, Ibnu Rusyd dikenal sebagai Averroes dan komentator terbesar atas filsafat Aristoteles yang memengaruhi filsafat Kristen di abad pertengahan, termasuk pemikir semacam St. Thomas Aquinas. Banyak orang mendatangi Ibnu Rusyd untuk mengkonsultasikan masalah kedokteran dan masalah hukum.
Karya-karya Ibnu Rusyd meliputi bidang filsafat, kedokteran dan fikih dalam bentuk karangan, ulasan, essai dan resume. Hampir semua karya-karya Ibnu Rusyd diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Ibrani (Yahudi) sehingga kemungkinan besar karya-karya aslinya sudah tidak ada.
Filsafat Ibnu Rusyd ada dua, yaitu filsafat Ibnu Rusyd seperti yang dipahami oleh orang Eropa pada abad pertengahan; dan filsafat Ibnu Rusyd tentang akidah dan sikap keberagamaannya.


PEJUANG PENDIDIKAN ISLAM JAMAN DULU

3. Imam Al-Ghazali
Imam al-Ghazali mempunyai daya ingat yang kuat dan bijak berhujjah. Ia digelar Hujjatul islam karena kemampuannya tersebut. Ia sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah yang merupakan pusat kebesaran Islam. Ia berjaya menguasai pelbagai bidang ilmu pengetahuan. Imam al-Ghazali sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ia juga sanggup meninggalkan segala kemewahan hidup untuk bermusafir dan mengembara serta meninggalkan kesenangan hidup demi mencari ilmu pengetahuan. Sebelum beliau memulai pengembaraan, beliau telah mempelajari karya ahli sufi ternama seperti al-Junaid Sabili dan Bayazid Bustami.Imam Al Ghazali mengembara selama 10 tahun. Ia telah mengunjungi tempat2 suci islam seperti: Mekkah, Madinah, Jerusalem, dan Mesir. Ia terkenal sebagai ahli filsafat Islam yang telah mengharumkan nama ulama di Eropa melalui hasil karyanya yang sangat bermutu tinggi. Sejak kecil lagi beliau telah dididik dengan akhlak yang mulia. Hal ini menyebabkan beliau benci kepada sifat riya, megah, sombong, takabur, dan sifat-sifat tercela yang lain. Ia sangat kuat beribadat, wara', zuhud, dan tidak gemar kepada kemewahan, kepalsuan, kemegahan dan mencari sesuatu untuk mendapat ridha Allah SWT.

PEJUANG PENDIDIKAN ISLAM JAMAN DULU


PEJUANG PENDIDIKAN ISLAM JAMAN DULU


PEJUANG PENDIDIKAN ISLAM JAMAN DULU


PEJUANG PENDIDIKAN ISLAM JAMAN DULU


PEJUANG PENDIDIKAN ISLAM JAMAN DULU


PEJUANG PENDIDIKAN ISLAM JAMAN DULU

BAGAIMANA KURIKULUM YANG TERBAIK ITU?

Menurut Survai Kurikulum terbaik dunia di pegang oleh Filandia... Apakah betul seperti itu, lantas bagaimana Kurikulum yang terbaik itu , yuk kita simak bareng bareng sahabat Pejuang Pendidikan...
Salah satu prinsip kurikulum di Finlandia adalah Non-discrimination and equal treatment yang berarti tidak ada diskriminasi dan mendapat perlakuan yang sama. di Finlandia semua anak punya hak sama dalam pendidikan, tidak dibedakan antara si kaya dan si miskin dan semua sekolah tidak dibedakan baik itu sekolah favorit atau tidak.

Jadi siswa bisa masuk ke sekolah mana saja karena semua sekolah sama. hal lain yang membuat sistem pendidikan di Finlandia berbeda adalah karena tidak ada assessment atau penilaian. siswa-siswa di Finlandia dibimbing untuk memiliki hak yang sama ketika belajar, maka tidak heran jika di dalam kelas mereka memiliki minimal dua guru untuk mengajar, 1 bertindak sebagai guru utama dan 1-nya sebagai asisten. di sisi lain berdasarkan hak dasar warga Finlandia, prinsip Receive understanding and have their say in accordance with their age and maturity yaitu menerima pemahaman dan pendapat sesuai umur dan kedewasaan.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menyadari pentingnya melahirkan generasi cemerlang. Mereka adalah generasi unggul dan berkepribadian Islam; para ilmuwan dengan kemajuan sains dan teknologi; generasi para mujahid dan mujtahid. Mereka adalah generasi cemerlang pengukir peradaban Islam, generasi pemimpin, bukan sebagai pengekor. Mereka disegani kawan dan ditakuti lawan. Generasi demikian tentu berkaitan dengan sistem pendidikan yang diemban.


Kualitas pendidikan sebuah lembaga semakin ditingkatkan. Aneka seminar, workshop dan lainnya kian marak digencarkan. Bangunan gedung yang megah dilengkapi dengan fasilitas memadai. Semakin mahal biaya pendidikan, maka pelayanan pun semakin ditingkatkan. Semua tak lain untuk berlomba-lomba dalam meningkatkan kualitas pendidikan. “Didiklah anakmu sesuai zamannya,” begitu pesan sahabat Ali bin Abi Thalib ra. Pesan ini terngiang di telinga para praktisi pendidikan. Karena itu lembaga pendidikan berlomba-lomba mempersiapkan anak didik untuk menghadapi masa depan yang penuh tantangan.

Semakin menjamurnya sekolah/lembaga pendidikan menjadi pertanda begitu pedulinya masyarakat terhadap dunia pendidikan. Namun, kita mendapati bahwa masyarakat dan sistem yang ada menjadikan pendidikan bukan sebagai kebutuhan pokok yang terfasilitasi penuh oleh Negara. Pendidikan justru menjadi komoditas ekonomi yang dilemparkan ke pasar untuk diperjualbelikan. Hanya mereka yang memiliki ekonomi kelas menengah ke atas yang dapat mencicipi dan menikmati pendidikan yang berkualitas. Dapat dikatakan peran negara tereduksi oleh pihak swasta bahkan asing.

Saat pendidikan berorientasi materi, kualitas SDM pun sesuai permintaan pasar yaitu kualitas pekerja bukan pemimpin. Untuk merombaknya maka diperlukan kurikulum pendidikan yang tepat sasaran. Itulah kurikulum pendidikan Islam. Kurikulum ini tidak berorientasi pasar. Kurikulum pendidikan Islam akan mampu mencetak generasi unggul, generasi pemimpin. Islam memposisikan pendidikan sebagai kebutuhan pokok masyarakat yang wajib dipenuhi oleh negara. Dalam sistem pendidikan Islam kualitas SDM yang dihasilkan adalah generasi khairu ummah yang kelak mampu memimpin bangsanya menjadi bangsa yang besar, kuat dan terdepan memimpin bangsa lainnya. Sebuah pendidikan Islam akan melahirkan generasi berkepribadian Islam, berpola pikir dan pola sikap berdasarkan akidah Islam yang bersumber dari Sang Pencipta, Allah SWT.

Kurikulum yang berkualitas disusun dengan dasar dan orientasi ideologi Islam disusun memenuhi di antaranya: Pertama, bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab, yang notabene bahasa al-Quran. Bahasa ini akan menggugah pemikiran dan menyentuh perasaan. Kedua, tsaqafah yang dipelajari digali dari al-Quran dan as-Sunah. Ketiga, sains dan tekhnologi yang dihasilkan memudahkan pemenuhan kebutuhan manusia dalam kehidupan tanpa mengesampingkan hukum syariah (IPTEK yang tidak bertentangan syariah).

Dengan demikian output yang dihasilkan adalah generasi pejuang, bukan generasi yang cerdas akal saja namun miskin kepribadian; bukan generasi yang mahir dalam IPTEK namun miskin iman. Merekalah generasi pemimpin, pengukir peradaban yang tak mudah surut dalam perjuangan Islam. WalLahu a’lam bi ash-shawab

Tokoh Pejuang Pendidikan Apakah Benar Ki Hajar Dewantoro Itu Tokoh Pendidikan???

Setiap tanggal 2 Mei pemerintah Indonesia menetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Tentu ada asal muasal kenapa dipilih tanggal 2 Mei, yang merujuk pada hari kelahiran R.M. Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hajar Dewantara. Beliau merupakan pendiri perguruan Taman Siswa. Soewardi lahir tanggal 2 Mei 1989,  di Yogyakarta berasal dari elit Kraton anak Paku Alam IV. Perguruan Taman Siswa didirikan pada 3 Juli 1922, sebagai lembaga pendidikan yang mengadopsi corak kebangsaan, kebatinan dan nilai-nilai barat oleh warga pribumi pertama.
Jauh sebelum Taman Siswa dibentuk, seorang tokoh lain yang peduli terhadap nasib umat justru telah berbuat lebih banyak dalam memberdayakan pendidikan. Beliau, tokoh yang sangat prihatin dengan corak pendidikan barat/kolonial belanda, terutama pendidikan yang dikelola oleh kolonial dengan unsur theosofi justru diberikan subsidi besar oleh pemerintahan kolonial saat itu, termasuk elit setempat.
Adalah KH Ahmad Dahlan, dimana beliau mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah di tahun 1912, yang salah satu misinya adalah memajukan pendidikan dengan pembaruan dan cara berpikir sesuai tuntunan Islam serta menolak filosofi kebatinan yang diajarkan pada sekolah kolonial Belanda saat itu. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Perkumpulan ini berdiri pada tanggal 18 Nopember 1912.


Sejak awal Ahmad Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan. Meskipun awalnya ditentang oleh umat islam sendiri, namun berkat kegigihan dan kepiawaian beliau akhirnya berkembang ke seluruh seantero Nusantara. Perlu diketahui KH Ahmad Dahlan bukan saja sebagai tokoh islam, kiprahnya di dunia pendidikan itu diawali juga sebagai pengajar di sekolah milik para priyayi, kaum elite dan kalangan anak-anak Belanda. Bahkan beliau pun mampu mengubah persepsi dimana Islam itu bisa fleksibel serta ada toleransi dengan ilmu pengetahuan. Dengan pendekatan itu, beliau akhirnya dapat diterima baik dari kalangan kaum elit atau juga rakyat jelata.


Kini setelah seratus tahun lebih apa yang terjadi? Persyarikatan Muhammadiyah telah mendirikan sekitar 2600 Sekolah dasar/setingkat MI, lebih dari 1700 Sekolah Menengah Pertama atau setingkat MTs, dan lebih dari 1100 Sekolah Menengah Atas/setingkat MA. Jumlah Perguruan Tinggi mencapai 172 terdiri atas Sekolah Tinggi, Pasca Sarjana, Universitas dan lainnya. Belum termasuk ratusan Rumah Sakit/Klinik, puluhan Sekolah Luar Biasa, panti asuhan dan ribuan TK/Taman Pendidikan di seluruh penjuru Nusantara. Sedangkan Taman Siswa? Hampir tak terdengar kiprahnya dalam memajukan Pendidikan Nasional saat ini. Meredup dan hampir hilang ditelan zaman. Sekitar 300 sekolah tersisa sudah mati suri.  Membandingkan  Taman siswa dan Muhammadiyah,  seperti semut dan gajah.



Tokoh ini sangat identik dengan pendidikan di Indonesia.  Dia dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional.Hari lahirnya diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya pun dipakai oleh Departemen Pendidikan RI sebagai jargon, yaitu tut wuri handayani, ing madya mangun karsa, ing ngarsa sung tulada (di belakang memberi dorongan, di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa, di depan memberi teladan).


Ki Hajar Dewantara dilahirkan di Yogyakarta (2 Mei 1889) dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Semasa kecilnya, RM Soewardi Soeryaningrat sekolah di ELS (SD Belanda). Kemudian, ia melanjutkan ke STOVIA (sekolah dokter bumiputra), namun tidak tamat. Setelah itu, dia bekerja sebagai wartawan di Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Tulisan-tulisannya sangat tajam dan patriotik sehingga membangkitkan semangat antipenjajahan



Dalam beberapa buku karya Ki Hadjar Dewantara tidak dijumpai istilah“karakter”,  dengan makna “akhlaq”dalam Islam. Tapi, secara inplisit istilah itu muncul dalam berbagai buku karangannya dengan istilah “budi pekerti”. Oleh Ki Hadjar, budi pekertidiletakkan sebagai jiwa atau ruh daripengajarananya. Sebab, menurutnya,pengajaran dan budi pekerti ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Pengajaran atau pendidikan berarti menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam hidup anak didik supaya mereka kelak menjadi manusia berpribadi yang beradab dan susila. (Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama (Pendidikan), Yogyakarta: Majlis Luhur Tamansiswa, 1967).


Budi pekerti menurut Ki Hadjar bukan sekedar konsep teoritis sebagaimana yang dipahami masyarakat pada umumnya. Pengajaran budi pekerti juga bukan berarti mengajar teori tentang baik buruk, benar salah dan seterusnya; bukan pula pengajaran dalam bentuk pemberian kuliah atau ceramah tentang hidup kejiwaan atau peri-keadaban manusia dan atau keharusan memberi keterangan-keterangan tentang budi pekerti secara luas dan mendalam. Pengajaran budi pekerti, tegas Ki Hadjar, diterapkan untuk menyokong perkembangan hidup anak-anak,  menuju ke arah peradaban dalam sifatnya yang umum, seperti mengajarkan anak bagaimana duduk yang baik, tidak berteriak-teriak agar tidak mengganggu orang lain, bersih badan dan pakaian, hormat terhadap ibu bapak dan orang lain, suka menolong dan lain sebagainya. (Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005).


Ki Hadjar yang dikenal sebagai tokoh pendidikan mengharapkan, anak-anak didik hendaknya diberikan anjuran-anjuran untuk melakukan pelbagai laku yang baik dengan cara disengaja. Dengan begitu maka syarat pendidikan budi pekerti yang dahulu biasa saja disebut metode menyadari, menginsyafi dan melakukan, atau ngerti, ngerasa dan ngelakoni (“tri-nga”) dapat terpenuhi. (Ki Hadjar Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian A (Kebudayaan), Yogyakarta: Tamansiswa, 1967)


Sebagai seorang pemikir dan praktisi pendidikan, Ki Hadjar dalam berbagai bukunya tidak terlibat dalam mengartikan kurikulum secara teknis. Namun secara substansial, dapat dijumpai bahwa Ki Hadjar dengan caranya sendiri banyak membicarakan masalah kurikulum, yakni kurikulum dalam arti konvensional, yaitu nama-nama mata pelajaran yang perlu diajarkan kepada para siswa sesuai dengan tingkatannya.[5] Dalam kaitan ini, Ki Hadjar Dewantara antara lain mengatakan sebagai berikut:

Pelajaran yang dibolehkan kepada anak-anak boleh dibagi menjadi dua. Pertama, mata pelajaran yang selain memberi pengetahuan atau kepandaian juga berpengaruh kepada kemajuan batin, dalam arti memasakkan (mematangkan) pikiran, rasa dan kemauan. Sedangkan yang Kedua, adalah mata pelajaran yang akan memberi bekal pada anak-anak untuk hidupnya kelak dalam dunia pergaulan umum; yaitu mata pelajaran yang meliputi lapangan kultural dan kemasyarakatan.[6]


Pada bagian berikutnya Ki Hadjar mengatakan:

Bahwa pelajaran yang menajamkan pikiran dan berdasarkan kemasyarakatan itu umumnya menjadi pokoknya program pendidikan secara Barat, yang kita jumpai dalam sistem sekolah dengan ekor-ekornya: intelektualisme dan materialisme, yaitu mendewakan angan-angan dan keduniaan. Adapun pendidikan secara Timur yang sekarang juga mulai dimasukkan dalam cara pendidikan di Eropa, biasanya mengutamakan keluhuran budi pekerti.[7]



Ki Hadjar menghendaki budi pekerti yang bersifat terintegrasi dengan pengajaran pada setiap bidang studi. Dengan kata lain, Ki Hadjar menginginkan bahwa pada setiap pengajaran bidang studi apapun harus mengintegrasikannya dengan pendidikan budi pekerti, dan tidak berhenti pada pengajaran mata pelajaran tersebut semata-mata. Baginya pengajaran adalah alat bukan tujuan. Pengajaran matematika misalnya adalah alat untuk menghasilkan anak yang memiliki keterampilan dalam memahami dan mempraktikkan rumusan hitungan secara tepat dan akurat. Namun bersamaan dengan itu pengajaran matematika tersebut harus diarahkan pada menghasilkan manusia yang dapat bersikap teliti, cermat, kerja teratur dan jujur. (Abuddin Nata,Tokoh-tokoh Pembaruan, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005).


Budi pekerti — dalam implementasi di Perguruan Tamansiswa — bertujuan agar anak-anakdidik dapat kemajuan alam hidupnya lahir dan batin menuju ke arah adab kemanusiaan. Budi pekerti di sini juga tidak hanya menghendaki pembentukan intelek, tetapi menghendaki juga pendidikan dalam arti pemeliharaan dan pelatihan susila (budi), karena menurut Ki Hadjar, adab atau keluhuran budi manusia itu menunjukkan sifat batinnya manusia, sedangkan kesusilaan atau kehalusan itu menunjukkan sifat hidup lahiriyah manusia yang serba halus dan indah. Ki Hadjar menyatakan, “Bahwa budi pekerti seseorang itu dapat mewujudkan sifat batinnya seseorang dengan pasti dan tetap”. Ki Hadjar juga menegaskan,  “Bahwa tidak ada dua budi pekerti orang yang sama, meskipun sama dua roman wajah seseorang, tidaklah sama kedua budi pekertinya”. (Abdurrahman Surjomiharjo, Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern,  Yogyakarta: Sinar Harapan, 1986).


Ki Hadjar pun berpendapat bahwa pendidikan budi pekerti harus mempergunakan syarat-syarat yang selaras dengan jiwa kebangsaan menuju kepada kesucian, ketertiban dan kedamaian lahir batin. Menyimak gagasan dan pemikirannya tentang pendidikan budi pekerti, terlihat dengan jelas, konsep budi pekerti Ki Hadjar  diarahkan pada pembentukan karakter bangsa yang sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa yang universal. (Ki Hadjar Dewantara, Asas-asas dan Dasar-dasar Tamansiswa, Yogyakarta: Tamansiswa, 1964)


 Pendidikan adab


Sebagai ajaran yang berdasarkan pada wahyu Allah, Islam tidak menolak nilai-nilai universal yang baik. Tetapi, Islam meletakkan sifat-sifat baik seperti: jujur, sopan dan toleransi semuanya dalam bingkai dan dasar keimanan, bukan sekedar “rasa kemanusiaan” semata yang lepas dari nilai-nilai Islam. Seorang muslim diajarkan untuk jujur, bukan karena kemanfaatan sifat jujur semata, tetapi karena jujur itu perintah Allah Swt. Sebagaimana diungkapkan Adian Husaini, bahwa semua aktifitas kemanusiaan baik berupa amal shaleh, akhlak, maupun nilai-nilai kebajikan lainnya seperti jujur, kebersihan, dan kerja keras, harus dilandasi dan dalam bingkai keimanan. Jika amal shaleh atau sifat kemanusiaan tidak dilandasi dengan keimanan, maka perbuatan itu akan menjadi berbahaya bahkan melanggar batas-batas ketentuan Allah Swt”.(Adian Husaini, Pendidikan Islam Membentuk Manusia berkarakter dan Beradab, Jakarta: Cakrawala, 2013).


Dalam perspektif Islam, hubungan antara iman dan budi pekerti adalah hubungan yang tidak bisa dilepaskan, karena iman merupakan sumber akhlak yang luhur. Akhlak inilah yang pada gilirannya menuntun manusia untuk menemukan kebenaran dan hakikat sesuatu. Sedangkan ilmu menuntun manusia untuk menjadi manusia yang beradab. Hal ini sejalan dengan misi kerasulan Nabi Muhammad Saw. yaitu untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.(M. Athiyah al-Abrasyi, Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2003)


Jadi dalam perspektif Islam, pemikiran Ki Hadjar tentang pendidikan budi pekerti, perlu dilandasi keimanan, bukan berdasarkan budaya semata.  Dan semua aktivitas yang berpijak pada dasar keimanan akan mendatangkan hasil yang lebih berkualitas,  lahir maupun bathin, lantaraniman merupakan hubungan antara hamba dan Sang Khaliq. (Abdurrahman al-Nahlawi,Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Jakarta: GIP, 2005).


Dengan demikian, menurut penulis, gagasan Ki Hadjar, agar lebih efektif dan “selamat”, maka pendidikan budi pekerti ini perlu didasarkan pada unsur-unsur ketauhidan, sehingga makin selaras dengan  tujuan Pendidikan Nasional yang bertujuan meningkatkan iman dan takwa, sesuai UU Sisdiknas No 20 (Pasal 3) tahun 2003. “Budi pekerti” yang tidak  dilandasi keimanan, berpotensi menyimpang dari ajaran Tuhan dan merusak esensi kemanusiaan.


Allah SWT misalnya menggariskan, hanya boleh tolong menolong dalam kebaikan. Maka toleransi bisa dilakukan, tetapi tidak untuk kemusyrikan dan kejahatan. Cinta kasih sesama manusia perlu dibatasi dengan pijakan iman. Tidak boleh misalnya menikah sesama jenis, meski berdasar kasih sayang antar sesama. Maka, idealnya semboyan Pendidikan Nasional kita diubah menjadi: “Iman, Ilmu, Amal”. Bukan sekedar: tut wuri handayani

Serbuan Virus LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender)

Kasus yang menimpak Syapul Jamil menambah panjang Virus LGBT ini bagaimana tidak mungkin seorang Artis yang akan disorot oleh media ini secara otomatis memperpanjang kasus ini ( LGBT Red)

Ipul juga dinilai punya ketertarikan terhaday pria muda alias brondong. "Tidak bisa kita pungkiri bahwa Saipul Jamil sudah lama menyendiri, apalagi istri keduanya juga sudah meninggal cukup lama dalam kecelakaan, jadi ada faktor kesepian yang mendorong hasrat seksual pelaku untuk melampiaskannya ke orang yang ia suka

Sejak awal tahun 2000-an, serbuan virus LGBT mulai banyak menyerang negeri ini. Serbuan LGBT di negeri ini dilakukan secara akademik, politik dan sosial. Secara akademik, penyebaran ide LGBT di antaranya berlindung di balik kajian akademik. Banyak organisasi LGBT bergerak dari atau di kampus-kampus dan menyerukan ide LGBT melalui tulisan. Secara politik mereka melakukan gerakan politik: melakukan aksi di Bundaran Hotel Indonesia, berusaha mempengaruhi berbagai kebijakan politik dan bekerjasama dengan berbagai lembaga khususnya lembaga yang bergerak di bidang advokasi dan HAM. Ada juga pertemuan 29 ahli HAM di UGM Yogyakarta pada tanggal 6-9 November di 2006 yang menghasilkan dokumen “Prinsip-prinsip Yogyakarta” (The Yogyakarta Principles). Dokumen tersebut berisi tentang Penerapan Hukum HAM Internasional dalam kaitannya dengan Orientasi Seksual dan Identitas Gender. Dokumen yang terdiri dari 29 prinsip itu juga disertai rekomendasi kepada Pemerintah, lembaga antar pemerintah daerah, masyarakat sipil dan PBB itu sendiri.

Secara sosial, propaganda LGBT diserukan dengan beragam cara dan sarana. Melalui organisasi peduli AIDS dilakukan advokasi dan konsultasi, film, aksi di lapangan, budaya, media massa dan sebagainya. Targetnya untuk menyebarkan ide LGBT dan mengubah sikap masyarakat agar toleran dan menerima perilaku LGBT. Di antaranya dinyatakan, LGBT hanya merupakan ekspresi seksual dan gender dari faktor gen, keturunan dan bawaan.

Bukan Bawaan

LGBT tidak terbukti secara ilmiah merupakan fenomena dari faktor gen. Kode gen “Xq28”. yang selama ini ditengarai sebagai gen pembawa kecenderungan fenotepe homoseksual, tidak terbukti mendasari sifat dari homoseksual.

Pada 1999, Prof. George Rice dari Universitas Western Ontario, Kanada, bersama timnya melakukan riset terkait hal itu. Hasil penelitian mereka mengungkap tidak adanya kaitan gen Xq28 yang dikatakan mendasari homoseksualitas pria. Penelitian juga dilakukan oleh Prof Alan Sanders dari Universitas Chicago, di tahun 1998-1999. Hasilnya juga tidak mendukung teori hubungan genetik pada homoseksualitas. Ruth Hubbard, seorang pengurus “The Council for Responsible Genetics” mengatakan, “Pencarian sebuah gen gay bukan suatu usaha pencarian yang bermanfaat. Saya tidak berpikir ada gen tunggal yang memerintah perilaku manusia yang sangat kompleks.”

Jadi, perilaku LGBT bukanlah karena faktor bawaan, bukan faktor keturunan. Perilaku LGBT bukan sesuatu yang “dipaksakan” sehingga tidak bisa ditolak atau harus diterima keberadaannya.

Dalih Kebebasan dan HAM

Penyebaran ide dan perilaku LGBT menggunakan dalih kebebasan dan HAM. LGBT dibenarkan dengan ide relativitas kebenaran dan moral. Intinya, tidak ada kebenaran tunggal yang mengikat semua orang. Kebenaran bersifat majemuk; bergantung individu, budaya dan konteks sosial tertentu. Semua orang harus toleran terhadap perbedaan ukuran moralitas serta ukuran benar dan salah menurut pihak lain. Karena itu, menurut ide ini perilaku LGBT tidak boleh dipandang sebagai perilaku menyimpang, tak bermoral dan abnormal. Menurut ide ini, LGBT hanya merupakan keberagaman orientasi seksual seperti halnya perbedaan suku, agama, ras dan budaya dalam masyarakat. Perilaku LGBT dianggap manusiawi dengan dalih tidak merugikan orang lain. Yang penting perilaku seksual yang terjadi aman, nyaman dan bertanggung jawab. Masyarakat lantas dituntut toleran terhadap perilaku menyimpang LGBT.

Selain itu setiap orang bebas untuk mengekspresikan diri, dan itu adalah bagian dari HAM. Dari sudut pandang kebebasan dan HAM, pelaku LGBT hanya mengekspresikan orientasi seksual dan identitas gender yang jadi pilihannya sebagai bagian dari hak asasinya. Berdasarkan dalih kebebasan dan HAM itu, penentangan atas perilaku LGBT kemudian dianggap sebagai pelanggaran HAM.

Pandangan Islam

Ide kebebasan dan HAM yang mendasari dan digunakan sebagai pembenaran perilaku seks menyimpang, termasuk perilaku LGBT, adalah ide yang menyalahi dan bertentangan dengan Islam. Dalam Islam, manusia tidak bebas sebebas-bebasnya. Pandangan dan perilakunya harus terikat dengan syariah Islam. Seorang Muslim tidak bebas berpandangan dan berperilaku sesukanya sesuai hawa nafsunya. Allah SWT berifirman:

)وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا (

Apa saja yang diberikan Rasul kepada kalian, terimalah. Apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah (TQS al-Hasyr [59]: 7).

Karena itu dalam Islam negara berkewajiban membina dan memupuk keimanan dan ketakwaan warganya. Dengan ketakwaan itu maka ide dan perilaku yang menyalahi ketentuan Islam, termasuk LGBT, akan bisa dicegah dan diminimalisasi dari masyarakat.

Allah SWT menjelaskan bahwa tujuan penciptaan laki-laki dan perempuan adalah untuk kelangsungan jenis manusia dengan segala martabat kemanusiaannya (QS an-Nisa [4]: 1). Karena itu hubungan seksualitas yang dibenarkan dalam Islam hanyalah yang ada dalam ikatan pernikahan yang sah secara syar’i. Semua hubungan seksualitas di luar ikatan pernikahan adalah ilegal dan menyimpang. Lesbian, homoseksual, anal seks, perzinaan, semuanya adalah perilaku seks yang menyimpang; tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang normal. Semua itu juga menjadi ancaman terhadap keberadaan umat manusia dengan segala martabat kemanusiaannya.

Selain itu terdapat nas yang secara khusus menjelaskan bahwa homoseksual adalah perilaku terlaknat. Rasul saw. bersabda:

«مَلْعُونٌ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ »

Dilaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Nabi Luth (homoseksual) (HR at-Tirmidzi dan Ahmad dari Ibnu Abbas).

Perilaku transgender juga merupakan perilaku yang dilaknat dalam Islam. Ibnu Abbas ra. mengatakan:

«لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ وَالْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ »

Rasulullah saw. telah melaknat wanita yang menyerupai laki-laki dan laki-laki yang menyerupai wanita (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).

Karena itu di dalam Islam, ide dan perilaku LGBT jelas menyimpang dan abnormal. Ide LGBT adalah ide haram. Perilaku LGBT adalah perilaku dosa. Karena itu ide LGBT tidak boleh tersebar di masyarakat. Siapa saja yang menyebarkan, mendukung dan membenarkan ide LGBT jelas berdosa dan layak dikenai sanksi sesuai ketentuan syariah. Negara dalam Islam harus membersihkan dan menjaga masyarakat dari ide LGBT.

Islam menilai homoseksual sebagai dosa dan kejahatan besar. Islam menetapkan sanksi hukum yang berat terhadap pelakunya. Siapa saja yang melakukan perbuatan kaum Nabi Luth dan terbukti dengan pembuktian yang syar’i maka pelaku dan pasangannya dijatuhi hukuman mati, tentu selama itu dilakukan suka rela, bukan karena dipaksa. Ibnu Abbas ra. menuturkan, Rasul saw. bersabda:

« مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ »

Siapa saja yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth, bunuhlah subyek dan obyeknya (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).

Wahai Kaum Muslim:

Dengan ketentuan Islam itu, masyarakat akan bisa dijaga sebagai umat manusia yang berbeda dengan binatang. Masyarakat juga bisa dijauhkan dari berbagai ide dan perilaku berbahaya termasuk LGBT. Semua itu akan terwujud sempurna jika syariah Islam diterapkan secara total dan menyeluruh. Di situlah pentingnya mewujudkan Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah sebagai sistem yang ditetapkan oleh Islam untuk menerapkan seluruh hukum Islam. Oleh karena itu, mewujudkan penerapan syariah Islam secara total dan menyeluruh di bawah sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah harus menjadi agenda utama dan vital bagi umat Islam. Semua elemen umat Islam harus berjuang sungguh-sungguh untuk sesegera mewujudkan Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. WalLâh a’lam bi ash-shawâb

SIAPA PENYELAMAT BANGSA ITU? YAITU PENDIDIKAN BANGSA YANG BERKARAKTER

Dunia remaja dan pelajar Indonesia hingga saat ini masih tetap diwarnai tawuran, kriminalitas, kekerasan, pergaulan bebas, miras dan obat terlarang.  Tentunya, menjadi pertanyaan besar bagi kita semua ada apa dengan pendidikan generasi kita? Dsisi lain, ada fakta bahwa remaja kita berdasar pada hasil survei lembaga swasta baru-baru ini, sebanyak 48,9 persen pelajar di Jakarta bersedia melakukan kekerasan terkait isu agama dan moralitas (vivanews.com, 1 Mei 2011).  Kasus bob yang melibatkan pemuda, pelaku dan korban cuci otak dari kalangan pemuda, dan juga kondisi buruk dunia remaja, memunculkan kembali pemikiran tentang perlunya peserta didik mendapatkan pendidikan karakter ke-Indonesiaan. Karena itulah, pendidikan karakter kebangsaan dicanangkan pada peringatan Hardiknas tahun 2011 lalu.
Masalahnya, benarkah yang dibutuhkan oleh generasi bangsa ini adalah pendidikan karakter kebangsaan? Apakah sudut pandang kebangsaan yang menjadi acuan pemerintah tersebut akan efektif untuk membangun dan memajukan bangsa?  Bagaimana sebenarnya arah pendidikan generasi sehingga menghasilkan sumber daya yang mampu membangun bangsa?
Mengurai Kepentingan
Gagasan pendidikan karakter kebangsaan kembali dikuatkan akhir-akhir ini seiring dengan mencuatnya isu radikalisme agama di kalangan pelajar dan mahasiswa. Adanya keinginan untuk mendirikan Negara Islam di Indonesia dengan cara-cara yang keliru semisal pencucian otak, penipuan dan yang lainnya, dipandang bahaya yang mengancam eksistensi bangsa.  Terlenih pasca reformasi, pembahasan Pancasila, UUD ’45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika dianggap tabu,  yang akhirnya pilar-pilar kebangsaan itu pun mulai dilupakan.  Sikap pembelaan kepada negara dan menjaga kesatuannya semakin luntur.  Sebaliknya, radikalisme maupun semangat untuk ‘mengubah’ negara ini kian menguat.  Seperti kemunculan NII yang selama ini ditengarai pemerintah hendak mendirikan negara Islam di Indonesia dan membubarkan Indonesia.
Berkaitan dengan penangkalan bahaya NII tersebut, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh mengatakan bahwa pendidikan karakter tidak hanya untuk membangun karakter pribadi berbasis kemuliaan semata, tetapi secara bersamaan juga bertujuan membangun karakter kemuliaan sebagai bangsa, yang bertumpu pada kecintaan dan kebanggaan terhadap bangsa dan negara. (kompas.com, 29 April 2011).  Pemerintah juga menyatakan bahwa bahaya idiologi NII harus dilawan dengan idiologi pula.  Untuk meluruskan pemahaman keliru NII harus dilakukan dengan memberikan pemahaman yang benar khususnya kepada pelajar dan mahasiswa yang selama ini menjadi sasaran utama NII.  Karena itulah penangkalan NII harus dilakukan melalui lembaga pendidikan di mana para calon korban tersebut biasa menimba ilmu.
Pendidikan karakter kebangsaan bertumpu pada kecintaan dan kebanggaan terhadap Bangsa dan Negara dengan Pancasila,  UUD NKRI 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai pilarnya.  Dengan konsep ini, diharapkan peserta didik tidak mempan terindoktrinasi ajaran NII yang mengkafirkan negara dan warga negaranya yang tidak masuk golongan mereka.  Tak hanya itu, pendidikan karakter ini juga diharapkan menjadi pilar kebangkitan bangsa yang kini makih terpuruk.  Disinyalir, terpuruknya bangsa disebabkan karena warga negaranya sudah tidak lagi mencintai Pancasila, UUD ’45, NKRI dan lupa ber-Bhinneka Tunggal Ika.  Dalam tataran inilah pendidikan yang mengembalikan peran keempat pilar kebangsaan itu dianggap sangat urgen.
Pendidikan Basis Karakter
Pendidikan berbasis karakter kebangsaan sebenarnya pernah dijalankan bangsa ini di masa awal kemerdekaan.  Kecintaan dan pembelaan yang mendalam terhadap negara menjadi bukti pengaruh pendidikan kebangsaan yang pernah dijalankan.  Namun, seperti yang  kita rasakan, pengaruh pendidikan kebangsaan tersebut ternyata bersifat sementara.  Begitu penjajah (Belanda atau tentara Sekutu) hilang dari bumi nusantara, semangat pembelaan terhadap negara mulai mengendur.
Penguatan sikap kebangsaan kembali dikuatkan di era Orde Baru.  Mengusung slogan pembangunan nasional, Pancasila dijabarkan dalam butir-butir P4.  Berbagai penataran dan lomba-lomba yang mengusung pilar-pilar kebangsaan itupun menjadi acara tahunan wajib yang harus diikuti oleh siswa maupun pegawai pemerintah.  Benar saja, dukungan dan loyalitas kepada pemerintahan pun kian kuat.  Saking kuatnya, mereka hampir-hampir tidak mampu memilah benang pemisah antara kebaikan dan keburukan yang dijalankan pemerintah.  Tiga puluh tahun masa penguatan kebangsaan berbuah kultus pada penguasa yang makin tidak memperhatikan hak-hak rakyatnya.  Bom waktu pun meledak, karena pendidikan kebangsaan ternyata menjadi alat bagi penguasa untuk mendominasi kekuasaan dan mengeliminir hak-hak rakyat.
Mungkin ada sebagian pihak yang berpendapat bahwa dengan kuatnya pendidikan kebangsaan, ancaman disintegrasi, separatisme, radikalisme dan anti Indonesia bisa dikendalikan.  Dan itu pernah dirasakan bangsa ini di era Orba.  Pendapat ini tentu saja tidak sepenuhnya benar, bahkan cenderung membohongi kenyataan.  Sebenarnya, gejolak anti pemerintah yang korup sudah berlangsung meski pendidikan kebangsaan diterapkan pada masyarakat.  Namun, penguasa ternyata lebih pintar menyimpan bobrok demokrasi ini sehingga ada kesan mampu mengeliminasi gejolak anti ke-Indonesiaan.  Berbagai tindakan represif pemerintah saat itu mampu dijalankan dengan rapi.  Masyarakat awam akhirnya mampu dibodohi untuk tunduk kepada kekuatan rezim korup atas nama pembelaan kepada negara.
Pendidikan karakter kebangsaan pada sejarahnya terbukti tidak membawa negara ini maju, malah terbelit dengan berbagai persoalan pelik yang beratnya bisa dirasakan hingga tujuh turunan.  Pendidikan karakter kebangsaan hanya menghasilkan robot-robot pembela bangsa yang tidak mampu membedakan benar-salah, halal-haram ataupun baik-buruk. Generasi yang berkarakter kebangsaan juga terbukti tidak mampu menyelesaikan berbagai masalah bangsa yang kini membelit.
Terlebih lagi, sebenarnya akar persoalan bangsa bukanlah terletak pada tidak diterapkannya Idiologi Pancasila, tapi karena sekulerisme yang menggurita. Sebaik apapun orangnya, sesantun apapun perilaku pelaksana negeri ini, bila rusak sistemnya, maka mereka tidak akan mampu mengubah wajah bangsa.
Sekulerisasi Pendidikan
Penerapan sistem demokrasi dan ekonomi kapitalis sesungguhnya merupakan masalah dasar munculnya berbagai persoalan termasuk didalamnya yang terkait dengan karakter manusia dan aturan yang dibuatnya.  Berbagai tindakan buruk manusia, lahir dari cara pandang terhadap kehidupan dan adanya aturan yang lahir dari cara pandang tersebut.  Saat bangsa ini menganut sistem demokrasi – yang bertumpu pada empat pilar kebebasan yakni kebebasan bertindak, berpendapat, bebas mengeksploitasi sumber daya alam, kebebasan beragama, yang terangkum dalam HAM – maka bisa kita saksikan dan rasakan bahwa aturan yang diterapkan di tengah masyarakat adalah aturan yang liberal.
Dunia gelap remaja semisal bisnis dan konsumsi narkoba, barang haram ini tidak diberantas seutuhnya karena dipandang benda ekonomis sepanjang masih ada orang yang membutuhkannya dan ternyata menguntungkan.  Pergaulan bebas, tidak serius dilarang mengingat bahwa persoalan ini masuk dalam ranah individu yang mempunyai hak asasi manusia untuk melakukan apa saja yang disukainya.  Pornografi-pornoaksi, cenderung dilegalkan karena memberi keuntungan pada pendapatan individu masyarakat maupun Negara dengan pajaknya.  Dan segudang problem lain, termasuk dalam hal pelaksanaan hak beragama.  Kasus semisal ahmadiyah, aliran sesatnya Lia Eden, cuci otak ala NII, dan aliran sesat lainnya tidak kunjung tuntas dan telah membawa banyak korban.
Bila pendidikan dijadikan tumpuan untuk membangun karakter bangsa unggulan, sementara sistem besar yang menjadi pilar tegaknya pendidikan ini berorientasi pada sekularisme dan kapitalisme, akankah berhasil? Jawabnya tentu tidak, tumpuan ini begitu rapuh.  Orientasi pendidikan sudah dibalut kepentingan ideologi kapitalistis.  Bagaimana bisa dilawan dengan gerakan moral yang berbasis pada pilar bangsa yang nyatanya juga sekuleris? Pencanangan pendidikan karakter kebangsaan, di samping tidak akan menyelesaikan persolaan juga menjadi bukti adanya upaya pelanggengan idiologi sekulerisme di negeri ini.  Pendidikan yang selama ini menjadi pintu masuknya pemahaman justru makin terkuasai oleh sekulerisme.
Pendidikan karakter kebangsaan kontra produktif dengan semangat kembali kepada Islam Kaffaah.  Sebab, dalam beberapa sisi, pilar-pilar kebangsaan Indonesia secara sengaja mengarahkan pengembannya untuk lebih mencintai negara melebihi kecintaan kepada Allah SWT.  Padahal Allah SWT telah memperingatkan:
“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai  daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (TQS. At Taubah [9]:24)
Begitu pula Allah SWT telah melarang kaum muslim mengikuti hukum yang tidak berbasis pada ideologi Islam alias hukum jahiliyah, dan sebaliknya memerintahkan untuk menerapkan Islam secara sempurna.
Allah SWT berfirman :
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS. Al Maidah [5] : 50)
Membangun pendidikan karakter kebangsaan hanyalah upaya tambal sulam dari rusaknya sistem kehidupan yang sekuler.  Sungguh, hal itu tidak akan memperbaiki persoalan, justru menambah persoalan baru karena mengokohkan sekulerisme -idiologi yang bertentangan dengan Islam.
Karakter Kepribadian Islam
Karakter kebangsaan bukanlah karakter generasi pembangun bangsa yang shohih, yang mempunyai visi dan misi mengubah negeri menjadi maju, beradab dan kuat.  Sesungguhnya yang dibutuhkan oleh generasi ini adalah pendidikan berbasis karakter yang shohih.  Dalam hal ini, Islam sebagai agama yang pernah membangun sebuah peradaban maju telah memberikan aturan membangun pendidikan yang shohih.  Pendidikan yang dibangun oleh Islam terbukti menghasilkan generasi yang mampu membangun peradaban maju dan kuat.
Sistem pendidikan Islam tersebut menitik beratkan pada terbentuknya karakter kepribadian Islam, bukan semata-mata pembelaan kepada bangsa.  Pendidikan yang bertujuan membentuk karakter kepribadian Islam tentu berbeda dengan karakter kebangsaan.  Sebab, karakter kepribadian Islam dibangun berdasarkan aqidah Islam.  Yang dihasilkan adalah generasi yang memiliki sudut pandang dan pemikiran yang shohih (Islami) dan sikap atau perilaku yang tidak menyimpang dari aturan Sang Khalik.  Hal ini sangat penting, mengingat kunci dari semua persoalan bangsa adalah benarnya (shohihnya)  aturan dan kebijakan yang diterapkan, dan itu dapat terwujud hanya melalui proses pendidikan yang shohih.
Pendidikan Islam tidak saja menghasilkan generasi yang benar dalam sikap dan pemikiran, namun juga semangat yang tinggi dalam menguasai ilmu-ilmu terapan (ilmu pengetahuan dan teknologi).  Hal ini sangat penting untuk membawa bangsa keluar dari krisis multidimensi yang disebabkan oleh lemahnya penguasaan iptek sehingga bergantung pada negara asing.
Pendidikan Islam tidak akan mencetak generasi yang anarkis, meski untuk melawan kedholiman penguasa sekalipun.  Sebab, aqidah dan syariah Islam telah menetapkan metode yang shohih untuk membangun negara, peradaban dan masyarakat.  Bukti atas majunya bangsa yang menerapkan pendidikan Islam telah terukir dalam sejarah panjang kehidupan Daulah Khilafah Islamiyyah sejak Rasulullah Saw mendirikannya di Madinah hingga kelemahannya di abad 19 M.  Sungguh, kaum muslim terdahulu telah menerapkannya, hanya saja mereka kini telah dibutakan oleh sistem kufur yang menutupi keluhuran sistem pendidikan Islam tersebut.