Tampilkan postingan dengan label News. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label News. Tampilkan semua postingan

PEJUANG PENDIDIKAN ISLAM JAMAN DULU

PEJUANG PENDIDIKAN ISLAM JAMAN DULU


1. IBNU SINA, BAPAK KEDOKTERAN MODERN
Syeikhur Rais, Abu Ali Husein bin Abdillah bin Hasan bin Ali bin Sina, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Sina atau Avicenna di dunia barat, lahir pada tahun 370 hijriyah di sebuah desa bernama Khormeisan dekat Bukhara. Sejak masa kanak-kanak, Ibnu Sina yang berasal dari keluarga bermadzhab Ismailiyah sudah akrab dengan pembahasan ilmiah terutama yang disampaikan oleh ayahnya. Kecerdasannya yang sangat tinggi membuatnya sangat menonjol sehingga salah seorang guru menasehati ayahnya agar Ibnu Sina tidak terjun ke dalam pekerjaan apapun selain belajar dan menimba ilmu.
Ia juga seorang penulis yang produktif dimana sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan pengobatan. Bagi banyak orang, beliau adalah "Bapak Pengobatan Modern" dan masih banyak lagi sebutan baginya yang kebanyakan bersangkutan dengan karya-karyanya di bidang kedokteran. Karyanya yang sangat terkenal adalah Qanun fi Thib yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad.
Dia adalah pengarang dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar. Banyak di antaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran. Dia dianggap oleh banyak orang sebagai "bapak kedokteran modern." George Sarton menyebut Ibnu Sina "ilmuwan paling terkenal dari Islam dan salah satu yang paling terkenal pada semua bidang, tempat, dan waktu." pekerjaannya yang paling terkenal adalah The Book of Healing dan The Canon of Medicine, dikenal juga sebagai sebagai Qanun (judul lengkap: Al-Qanun fi At Tibb).

PEJUANG PENDIDIKAN ISLAM JAMAN DULU

2. IBNU RUSYD

Abu Walid Muhammad bin Rusyd lahir di Kordoba (Spanyol) pada tahun 520 Hijriah (1128 Masehi). Ayah dan kakek Ibnu Rusyd adalah hakim-hakim terkenal pada masanya. Ibnu Rusyd kecil sendiri adalah seorang anak yang mempunyai banyak minat dan talenta. Dia mendalami banyak ilmu, seperti kedokteran, hukum, matematika, dan filsafat. Ibnu Rusyd mendalami filsafat dari Abu Ja'far Harun dan Ibnu Baja.
Ibnu Rusyd adalah seorang jenius yang berasal dari Andalusia dengan pengetahuan ensiklopedik. Masa hidupnya sebagian besar diberikan untuk mengabdi sebagai "Kadi" (hakim) dan fisikawan. Di dunia barat, Ibnu Rusyd dikenal sebagai Averroes dan komentator terbesar atas filsafat Aristoteles yang memengaruhi filsafat Kristen di abad pertengahan, termasuk pemikir semacam St. Thomas Aquinas. Banyak orang mendatangi Ibnu Rusyd untuk mengkonsultasikan masalah kedokteran dan masalah hukum.
Karya-karya Ibnu Rusyd meliputi bidang filsafat, kedokteran dan fikih dalam bentuk karangan, ulasan, essai dan resume. Hampir semua karya-karya Ibnu Rusyd diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Ibrani (Yahudi) sehingga kemungkinan besar karya-karya aslinya sudah tidak ada.
Filsafat Ibnu Rusyd ada dua, yaitu filsafat Ibnu Rusyd seperti yang dipahami oleh orang Eropa pada abad pertengahan; dan filsafat Ibnu Rusyd tentang akidah dan sikap keberagamaannya.


PEJUANG PENDIDIKAN ISLAM JAMAN DULU

3. Imam Al-Ghazali
Imam al-Ghazali mempunyai daya ingat yang kuat dan bijak berhujjah. Ia digelar Hujjatul islam karena kemampuannya tersebut. Ia sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah yang merupakan pusat kebesaran Islam. Ia berjaya menguasai pelbagai bidang ilmu pengetahuan. Imam al-Ghazali sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ia juga sanggup meninggalkan segala kemewahan hidup untuk bermusafir dan mengembara serta meninggalkan kesenangan hidup demi mencari ilmu pengetahuan. Sebelum beliau memulai pengembaraan, beliau telah mempelajari karya ahli sufi ternama seperti al-Junaid Sabili dan Bayazid Bustami.Imam Al Ghazali mengembara selama 10 tahun. Ia telah mengunjungi tempat2 suci islam seperti: Mekkah, Madinah, Jerusalem, dan Mesir. Ia terkenal sebagai ahli filsafat Islam yang telah mengharumkan nama ulama di Eropa melalui hasil karyanya yang sangat bermutu tinggi. Sejak kecil lagi beliau telah dididik dengan akhlak yang mulia. Hal ini menyebabkan beliau benci kepada sifat riya, megah, sombong, takabur, dan sifat-sifat tercela yang lain. Ia sangat kuat beribadat, wara', zuhud, dan tidak gemar kepada kemewahan, kepalsuan, kemegahan dan mencari sesuatu untuk mendapat ridha Allah SWT.

PEJUANG PENDIDIKAN ISLAM JAMAN DULU


PEJUANG PENDIDIKAN ISLAM JAMAN DULU


PEJUANG PENDIDIKAN ISLAM JAMAN DULU


PEJUANG PENDIDIKAN ISLAM JAMAN DULU


PEJUANG PENDIDIKAN ISLAM JAMAN DULU


PEJUANG PENDIDIKAN ISLAM JAMAN DULU

BAGAIMANA KURIKULUM YANG TERBAIK ITU?

Menurut Survai Kurikulum terbaik dunia di pegang oleh Filandia... Apakah betul seperti itu, lantas bagaimana Kurikulum yang terbaik itu , yuk kita simak bareng bareng sahabat Pejuang Pendidikan...
Salah satu prinsip kurikulum di Finlandia adalah Non-discrimination and equal treatment yang berarti tidak ada diskriminasi dan mendapat perlakuan yang sama. di Finlandia semua anak punya hak sama dalam pendidikan, tidak dibedakan antara si kaya dan si miskin dan semua sekolah tidak dibedakan baik itu sekolah favorit atau tidak.

Jadi siswa bisa masuk ke sekolah mana saja karena semua sekolah sama. hal lain yang membuat sistem pendidikan di Finlandia berbeda adalah karena tidak ada assessment atau penilaian. siswa-siswa di Finlandia dibimbing untuk memiliki hak yang sama ketika belajar, maka tidak heran jika di dalam kelas mereka memiliki minimal dua guru untuk mengajar, 1 bertindak sebagai guru utama dan 1-nya sebagai asisten. di sisi lain berdasarkan hak dasar warga Finlandia, prinsip Receive understanding and have their say in accordance with their age and maturity yaitu menerima pemahaman dan pendapat sesuai umur dan kedewasaan.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menyadari pentingnya melahirkan generasi cemerlang. Mereka adalah generasi unggul dan berkepribadian Islam; para ilmuwan dengan kemajuan sains dan teknologi; generasi para mujahid dan mujtahid. Mereka adalah generasi cemerlang pengukir peradaban Islam, generasi pemimpin, bukan sebagai pengekor. Mereka disegani kawan dan ditakuti lawan. Generasi demikian tentu berkaitan dengan sistem pendidikan yang diemban.


Kualitas pendidikan sebuah lembaga semakin ditingkatkan. Aneka seminar, workshop dan lainnya kian marak digencarkan. Bangunan gedung yang megah dilengkapi dengan fasilitas memadai. Semakin mahal biaya pendidikan, maka pelayanan pun semakin ditingkatkan. Semua tak lain untuk berlomba-lomba dalam meningkatkan kualitas pendidikan. “Didiklah anakmu sesuai zamannya,” begitu pesan sahabat Ali bin Abi Thalib ra. Pesan ini terngiang di telinga para praktisi pendidikan. Karena itu lembaga pendidikan berlomba-lomba mempersiapkan anak didik untuk menghadapi masa depan yang penuh tantangan.

Semakin menjamurnya sekolah/lembaga pendidikan menjadi pertanda begitu pedulinya masyarakat terhadap dunia pendidikan. Namun, kita mendapati bahwa masyarakat dan sistem yang ada menjadikan pendidikan bukan sebagai kebutuhan pokok yang terfasilitasi penuh oleh Negara. Pendidikan justru menjadi komoditas ekonomi yang dilemparkan ke pasar untuk diperjualbelikan. Hanya mereka yang memiliki ekonomi kelas menengah ke atas yang dapat mencicipi dan menikmati pendidikan yang berkualitas. Dapat dikatakan peran negara tereduksi oleh pihak swasta bahkan asing.

Saat pendidikan berorientasi materi, kualitas SDM pun sesuai permintaan pasar yaitu kualitas pekerja bukan pemimpin. Untuk merombaknya maka diperlukan kurikulum pendidikan yang tepat sasaran. Itulah kurikulum pendidikan Islam. Kurikulum ini tidak berorientasi pasar. Kurikulum pendidikan Islam akan mampu mencetak generasi unggul, generasi pemimpin. Islam memposisikan pendidikan sebagai kebutuhan pokok masyarakat yang wajib dipenuhi oleh negara. Dalam sistem pendidikan Islam kualitas SDM yang dihasilkan adalah generasi khairu ummah yang kelak mampu memimpin bangsanya menjadi bangsa yang besar, kuat dan terdepan memimpin bangsa lainnya. Sebuah pendidikan Islam akan melahirkan generasi berkepribadian Islam, berpola pikir dan pola sikap berdasarkan akidah Islam yang bersumber dari Sang Pencipta, Allah SWT.

Kurikulum yang berkualitas disusun dengan dasar dan orientasi ideologi Islam disusun memenuhi di antaranya: Pertama, bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab, yang notabene bahasa al-Quran. Bahasa ini akan menggugah pemikiran dan menyentuh perasaan. Kedua, tsaqafah yang dipelajari digali dari al-Quran dan as-Sunah. Ketiga, sains dan tekhnologi yang dihasilkan memudahkan pemenuhan kebutuhan manusia dalam kehidupan tanpa mengesampingkan hukum syariah (IPTEK yang tidak bertentangan syariah).

Dengan demikian output yang dihasilkan adalah generasi pejuang, bukan generasi yang cerdas akal saja namun miskin kepribadian; bukan generasi yang mahir dalam IPTEK namun miskin iman. Merekalah generasi pemimpin, pengukir peradaban yang tak mudah surut dalam perjuangan Islam. WalLahu a’lam bi ash-shawab

Tokoh Pejuang Pendidikan Apakah Benar Ki Hajar Dewantoro Itu Tokoh Pendidikan???

Setiap tanggal 2 Mei pemerintah Indonesia menetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Tentu ada asal muasal kenapa dipilih tanggal 2 Mei, yang merujuk pada hari kelahiran R.M. Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hajar Dewantara. Beliau merupakan pendiri perguruan Taman Siswa. Soewardi lahir tanggal 2 Mei 1989,  di Yogyakarta berasal dari elit Kraton anak Paku Alam IV. Perguruan Taman Siswa didirikan pada 3 Juli 1922, sebagai lembaga pendidikan yang mengadopsi corak kebangsaan, kebatinan dan nilai-nilai barat oleh warga pribumi pertama.
Jauh sebelum Taman Siswa dibentuk, seorang tokoh lain yang peduli terhadap nasib umat justru telah berbuat lebih banyak dalam memberdayakan pendidikan. Beliau, tokoh yang sangat prihatin dengan corak pendidikan barat/kolonial belanda, terutama pendidikan yang dikelola oleh kolonial dengan unsur theosofi justru diberikan subsidi besar oleh pemerintahan kolonial saat itu, termasuk elit setempat.
Adalah KH Ahmad Dahlan, dimana beliau mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah di tahun 1912, yang salah satu misinya adalah memajukan pendidikan dengan pembaruan dan cara berpikir sesuai tuntunan Islam serta menolak filosofi kebatinan yang diajarkan pada sekolah kolonial Belanda saat itu. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Perkumpulan ini berdiri pada tanggal 18 Nopember 1912.


Sejak awal Ahmad Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan. Meskipun awalnya ditentang oleh umat islam sendiri, namun berkat kegigihan dan kepiawaian beliau akhirnya berkembang ke seluruh seantero Nusantara. Perlu diketahui KH Ahmad Dahlan bukan saja sebagai tokoh islam, kiprahnya di dunia pendidikan itu diawali juga sebagai pengajar di sekolah milik para priyayi, kaum elite dan kalangan anak-anak Belanda. Bahkan beliau pun mampu mengubah persepsi dimana Islam itu bisa fleksibel serta ada toleransi dengan ilmu pengetahuan. Dengan pendekatan itu, beliau akhirnya dapat diterima baik dari kalangan kaum elit atau juga rakyat jelata.


Kini setelah seratus tahun lebih apa yang terjadi? Persyarikatan Muhammadiyah telah mendirikan sekitar 2600 Sekolah dasar/setingkat MI, lebih dari 1700 Sekolah Menengah Pertama atau setingkat MTs, dan lebih dari 1100 Sekolah Menengah Atas/setingkat MA. Jumlah Perguruan Tinggi mencapai 172 terdiri atas Sekolah Tinggi, Pasca Sarjana, Universitas dan lainnya. Belum termasuk ratusan Rumah Sakit/Klinik, puluhan Sekolah Luar Biasa, panti asuhan dan ribuan TK/Taman Pendidikan di seluruh penjuru Nusantara. Sedangkan Taman Siswa? Hampir tak terdengar kiprahnya dalam memajukan Pendidikan Nasional saat ini. Meredup dan hampir hilang ditelan zaman. Sekitar 300 sekolah tersisa sudah mati suri.  Membandingkan  Taman siswa dan Muhammadiyah,  seperti semut dan gajah.



Tokoh ini sangat identik dengan pendidikan di Indonesia.  Dia dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional.Hari lahirnya diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya pun dipakai oleh Departemen Pendidikan RI sebagai jargon, yaitu tut wuri handayani, ing madya mangun karsa, ing ngarsa sung tulada (di belakang memberi dorongan, di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa, di depan memberi teladan).


Ki Hajar Dewantara dilahirkan di Yogyakarta (2 Mei 1889) dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Semasa kecilnya, RM Soewardi Soeryaningrat sekolah di ELS (SD Belanda). Kemudian, ia melanjutkan ke STOVIA (sekolah dokter bumiputra), namun tidak tamat. Setelah itu, dia bekerja sebagai wartawan di Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Tulisan-tulisannya sangat tajam dan patriotik sehingga membangkitkan semangat antipenjajahan



Dalam beberapa buku karya Ki Hadjar Dewantara tidak dijumpai istilah“karakter”,  dengan makna “akhlaq”dalam Islam. Tapi, secara inplisit istilah itu muncul dalam berbagai buku karangannya dengan istilah “budi pekerti”. Oleh Ki Hadjar, budi pekertidiletakkan sebagai jiwa atau ruh daripengajarananya. Sebab, menurutnya,pengajaran dan budi pekerti ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Pengajaran atau pendidikan berarti menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam hidup anak didik supaya mereka kelak menjadi manusia berpribadi yang beradab dan susila. (Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama (Pendidikan), Yogyakarta: Majlis Luhur Tamansiswa, 1967).


Budi pekerti menurut Ki Hadjar bukan sekedar konsep teoritis sebagaimana yang dipahami masyarakat pada umumnya. Pengajaran budi pekerti juga bukan berarti mengajar teori tentang baik buruk, benar salah dan seterusnya; bukan pula pengajaran dalam bentuk pemberian kuliah atau ceramah tentang hidup kejiwaan atau peri-keadaban manusia dan atau keharusan memberi keterangan-keterangan tentang budi pekerti secara luas dan mendalam. Pengajaran budi pekerti, tegas Ki Hadjar, diterapkan untuk menyokong perkembangan hidup anak-anak,  menuju ke arah peradaban dalam sifatnya yang umum, seperti mengajarkan anak bagaimana duduk yang baik, tidak berteriak-teriak agar tidak mengganggu orang lain, bersih badan dan pakaian, hormat terhadap ibu bapak dan orang lain, suka menolong dan lain sebagainya. (Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005).


Ki Hadjar yang dikenal sebagai tokoh pendidikan mengharapkan, anak-anak didik hendaknya diberikan anjuran-anjuran untuk melakukan pelbagai laku yang baik dengan cara disengaja. Dengan begitu maka syarat pendidikan budi pekerti yang dahulu biasa saja disebut metode menyadari, menginsyafi dan melakukan, atau ngerti, ngerasa dan ngelakoni (“tri-nga”) dapat terpenuhi. (Ki Hadjar Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian A (Kebudayaan), Yogyakarta: Tamansiswa, 1967)


Sebagai seorang pemikir dan praktisi pendidikan, Ki Hadjar dalam berbagai bukunya tidak terlibat dalam mengartikan kurikulum secara teknis. Namun secara substansial, dapat dijumpai bahwa Ki Hadjar dengan caranya sendiri banyak membicarakan masalah kurikulum, yakni kurikulum dalam arti konvensional, yaitu nama-nama mata pelajaran yang perlu diajarkan kepada para siswa sesuai dengan tingkatannya.[5] Dalam kaitan ini, Ki Hadjar Dewantara antara lain mengatakan sebagai berikut:

Pelajaran yang dibolehkan kepada anak-anak boleh dibagi menjadi dua. Pertama, mata pelajaran yang selain memberi pengetahuan atau kepandaian juga berpengaruh kepada kemajuan batin, dalam arti memasakkan (mematangkan) pikiran, rasa dan kemauan. Sedangkan yang Kedua, adalah mata pelajaran yang akan memberi bekal pada anak-anak untuk hidupnya kelak dalam dunia pergaulan umum; yaitu mata pelajaran yang meliputi lapangan kultural dan kemasyarakatan.[6]


Pada bagian berikutnya Ki Hadjar mengatakan:

Bahwa pelajaran yang menajamkan pikiran dan berdasarkan kemasyarakatan itu umumnya menjadi pokoknya program pendidikan secara Barat, yang kita jumpai dalam sistem sekolah dengan ekor-ekornya: intelektualisme dan materialisme, yaitu mendewakan angan-angan dan keduniaan. Adapun pendidikan secara Timur yang sekarang juga mulai dimasukkan dalam cara pendidikan di Eropa, biasanya mengutamakan keluhuran budi pekerti.[7]



Ki Hadjar menghendaki budi pekerti yang bersifat terintegrasi dengan pengajaran pada setiap bidang studi. Dengan kata lain, Ki Hadjar menginginkan bahwa pada setiap pengajaran bidang studi apapun harus mengintegrasikannya dengan pendidikan budi pekerti, dan tidak berhenti pada pengajaran mata pelajaran tersebut semata-mata. Baginya pengajaran adalah alat bukan tujuan. Pengajaran matematika misalnya adalah alat untuk menghasilkan anak yang memiliki keterampilan dalam memahami dan mempraktikkan rumusan hitungan secara tepat dan akurat. Namun bersamaan dengan itu pengajaran matematika tersebut harus diarahkan pada menghasilkan manusia yang dapat bersikap teliti, cermat, kerja teratur dan jujur. (Abuddin Nata,Tokoh-tokoh Pembaruan, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005).


Budi pekerti — dalam implementasi di Perguruan Tamansiswa — bertujuan agar anak-anakdidik dapat kemajuan alam hidupnya lahir dan batin menuju ke arah adab kemanusiaan. Budi pekerti di sini juga tidak hanya menghendaki pembentukan intelek, tetapi menghendaki juga pendidikan dalam arti pemeliharaan dan pelatihan susila (budi), karena menurut Ki Hadjar, adab atau keluhuran budi manusia itu menunjukkan sifat batinnya manusia, sedangkan kesusilaan atau kehalusan itu menunjukkan sifat hidup lahiriyah manusia yang serba halus dan indah. Ki Hadjar menyatakan, “Bahwa budi pekerti seseorang itu dapat mewujudkan sifat batinnya seseorang dengan pasti dan tetap”. Ki Hadjar juga menegaskan,  “Bahwa tidak ada dua budi pekerti orang yang sama, meskipun sama dua roman wajah seseorang, tidaklah sama kedua budi pekertinya”. (Abdurrahman Surjomiharjo, Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern,  Yogyakarta: Sinar Harapan, 1986).


Ki Hadjar pun berpendapat bahwa pendidikan budi pekerti harus mempergunakan syarat-syarat yang selaras dengan jiwa kebangsaan menuju kepada kesucian, ketertiban dan kedamaian lahir batin. Menyimak gagasan dan pemikirannya tentang pendidikan budi pekerti, terlihat dengan jelas, konsep budi pekerti Ki Hadjar  diarahkan pada pembentukan karakter bangsa yang sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa yang universal. (Ki Hadjar Dewantara, Asas-asas dan Dasar-dasar Tamansiswa, Yogyakarta: Tamansiswa, 1964)


 Pendidikan adab


Sebagai ajaran yang berdasarkan pada wahyu Allah, Islam tidak menolak nilai-nilai universal yang baik. Tetapi, Islam meletakkan sifat-sifat baik seperti: jujur, sopan dan toleransi semuanya dalam bingkai dan dasar keimanan, bukan sekedar “rasa kemanusiaan” semata yang lepas dari nilai-nilai Islam. Seorang muslim diajarkan untuk jujur, bukan karena kemanfaatan sifat jujur semata, tetapi karena jujur itu perintah Allah Swt. Sebagaimana diungkapkan Adian Husaini, bahwa semua aktifitas kemanusiaan baik berupa amal shaleh, akhlak, maupun nilai-nilai kebajikan lainnya seperti jujur, kebersihan, dan kerja keras, harus dilandasi dan dalam bingkai keimanan. Jika amal shaleh atau sifat kemanusiaan tidak dilandasi dengan keimanan, maka perbuatan itu akan menjadi berbahaya bahkan melanggar batas-batas ketentuan Allah Swt”.(Adian Husaini, Pendidikan Islam Membentuk Manusia berkarakter dan Beradab, Jakarta: Cakrawala, 2013).


Dalam perspektif Islam, hubungan antara iman dan budi pekerti adalah hubungan yang tidak bisa dilepaskan, karena iman merupakan sumber akhlak yang luhur. Akhlak inilah yang pada gilirannya menuntun manusia untuk menemukan kebenaran dan hakikat sesuatu. Sedangkan ilmu menuntun manusia untuk menjadi manusia yang beradab. Hal ini sejalan dengan misi kerasulan Nabi Muhammad Saw. yaitu untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.(M. Athiyah al-Abrasyi, Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2003)


Jadi dalam perspektif Islam, pemikiran Ki Hadjar tentang pendidikan budi pekerti, perlu dilandasi keimanan, bukan berdasarkan budaya semata.  Dan semua aktivitas yang berpijak pada dasar keimanan akan mendatangkan hasil yang lebih berkualitas,  lahir maupun bathin, lantaraniman merupakan hubungan antara hamba dan Sang Khaliq. (Abdurrahman al-Nahlawi,Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Jakarta: GIP, 2005).


Dengan demikian, menurut penulis, gagasan Ki Hadjar, agar lebih efektif dan “selamat”, maka pendidikan budi pekerti ini perlu didasarkan pada unsur-unsur ketauhidan, sehingga makin selaras dengan  tujuan Pendidikan Nasional yang bertujuan meningkatkan iman dan takwa, sesuai UU Sisdiknas No 20 (Pasal 3) tahun 2003. “Budi pekerti” yang tidak  dilandasi keimanan, berpotensi menyimpang dari ajaran Tuhan dan merusak esensi kemanusiaan.


Allah SWT misalnya menggariskan, hanya boleh tolong menolong dalam kebaikan. Maka toleransi bisa dilakukan, tetapi tidak untuk kemusyrikan dan kejahatan. Cinta kasih sesama manusia perlu dibatasi dengan pijakan iman. Tidak boleh misalnya menikah sesama jenis, meski berdasar kasih sayang antar sesama. Maka, idealnya semboyan Pendidikan Nasional kita diubah menjadi: “Iman, Ilmu, Amal”. Bukan sekedar: tut wuri handayani

Serbuan Virus LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender)

Kasus yang menimpak Syapul Jamil menambah panjang Virus LGBT ini bagaimana tidak mungkin seorang Artis yang akan disorot oleh media ini secara otomatis memperpanjang kasus ini ( LGBT Red)

Ipul juga dinilai punya ketertarikan terhaday pria muda alias brondong. "Tidak bisa kita pungkiri bahwa Saipul Jamil sudah lama menyendiri, apalagi istri keduanya juga sudah meninggal cukup lama dalam kecelakaan, jadi ada faktor kesepian yang mendorong hasrat seksual pelaku untuk melampiaskannya ke orang yang ia suka

Sejak awal tahun 2000-an, serbuan virus LGBT mulai banyak menyerang negeri ini. Serbuan LGBT di negeri ini dilakukan secara akademik, politik dan sosial. Secara akademik, penyebaran ide LGBT di antaranya berlindung di balik kajian akademik. Banyak organisasi LGBT bergerak dari atau di kampus-kampus dan menyerukan ide LGBT melalui tulisan. Secara politik mereka melakukan gerakan politik: melakukan aksi di Bundaran Hotel Indonesia, berusaha mempengaruhi berbagai kebijakan politik dan bekerjasama dengan berbagai lembaga khususnya lembaga yang bergerak di bidang advokasi dan HAM. Ada juga pertemuan 29 ahli HAM di UGM Yogyakarta pada tanggal 6-9 November di 2006 yang menghasilkan dokumen “Prinsip-prinsip Yogyakarta” (The Yogyakarta Principles). Dokumen tersebut berisi tentang Penerapan Hukum HAM Internasional dalam kaitannya dengan Orientasi Seksual dan Identitas Gender. Dokumen yang terdiri dari 29 prinsip itu juga disertai rekomendasi kepada Pemerintah, lembaga antar pemerintah daerah, masyarakat sipil dan PBB itu sendiri.

Secara sosial, propaganda LGBT diserukan dengan beragam cara dan sarana. Melalui organisasi peduli AIDS dilakukan advokasi dan konsultasi, film, aksi di lapangan, budaya, media massa dan sebagainya. Targetnya untuk menyebarkan ide LGBT dan mengubah sikap masyarakat agar toleran dan menerima perilaku LGBT. Di antaranya dinyatakan, LGBT hanya merupakan ekspresi seksual dan gender dari faktor gen, keturunan dan bawaan.

Bukan Bawaan

LGBT tidak terbukti secara ilmiah merupakan fenomena dari faktor gen. Kode gen “Xq28”. yang selama ini ditengarai sebagai gen pembawa kecenderungan fenotepe homoseksual, tidak terbukti mendasari sifat dari homoseksual.

Pada 1999, Prof. George Rice dari Universitas Western Ontario, Kanada, bersama timnya melakukan riset terkait hal itu. Hasil penelitian mereka mengungkap tidak adanya kaitan gen Xq28 yang dikatakan mendasari homoseksualitas pria. Penelitian juga dilakukan oleh Prof Alan Sanders dari Universitas Chicago, di tahun 1998-1999. Hasilnya juga tidak mendukung teori hubungan genetik pada homoseksualitas. Ruth Hubbard, seorang pengurus “The Council for Responsible Genetics” mengatakan, “Pencarian sebuah gen gay bukan suatu usaha pencarian yang bermanfaat. Saya tidak berpikir ada gen tunggal yang memerintah perilaku manusia yang sangat kompleks.”

Jadi, perilaku LGBT bukanlah karena faktor bawaan, bukan faktor keturunan. Perilaku LGBT bukan sesuatu yang “dipaksakan” sehingga tidak bisa ditolak atau harus diterima keberadaannya.

Dalih Kebebasan dan HAM

Penyebaran ide dan perilaku LGBT menggunakan dalih kebebasan dan HAM. LGBT dibenarkan dengan ide relativitas kebenaran dan moral. Intinya, tidak ada kebenaran tunggal yang mengikat semua orang. Kebenaran bersifat majemuk; bergantung individu, budaya dan konteks sosial tertentu. Semua orang harus toleran terhadap perbedaan ukuran moralitas serta ukuran benar dan salah menurut pihak lain. Karena itu, menurut ide ini perilaku LGBT tidak boleh dipandang sebagai perilaku menyimpang, tak bermoral dan abnormal. Menurut ide ini, LGBT hanya merupakan keberagaman orientasi seksual seperti halnya perbedaan suku, agama, ras dan budaya dalam masyarakat. Perilaku LGBT dianggap manusiawi dengan dalih tidak merugikan orang lain. Yang penting perilaku seksual yang terjadi aman, nyaman dan bertanggung jawab. Masyarakat lantas dituntut toleran terhadap perilaku menyimpang LGBT.

Selain itu setiap orang bebas untuk mengekspresikan diri, dan itu adalah bagian dari HAM. Dari sudut pandang kebebasan dan HAM, pelaku LGBT hanya mengekspresikan orientasi seksual dan identitas gender yang jadi pilihannya sebagai bagian dari hak asasinya. Berdasarkan dalih kebebasan dan HAM itu, penentangan atas perilaku LGBT kemudian dianggap sebagai pelanggaran HAM.

Pandangan Islam

Ide kebebasan dan HAM yang mendasari dan digunakan sebagai pembenaran perilaku seks menyimpang, termasuk perilaku LGBT, adalah ide yang menyalahi dan bertentangan dengan Islam. Dalam Islam, manusia tidak bebas sebebas-bebasnya. Pandangan dan perilakunya harus terikat dengan syariah Islam. Seorang Muslim tidak bebas berpandangan dan berperilaku sesukanya sesuai hawa nafsunya. Allah SWT berifirman:

)وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا (

Apa saja yang diberikan Rasul kepada kalian, terimalah. Apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah (TQS al-Hasyr [59]: 7).

Karena itu dalam Islam negara berkewajiban membina dan memupuk keimanan dan ketakwaan warganya. Dengan ketakwaan itu maka ide dan perilaku yang menyalahi ketentuan Islam, termasuk LGBT, akan bisa dicegah dan diminimalisasi dari masyarakat.

Allah SWT menjelaskan bahwa tujuan penciptaan laki-laki dan perempuan adalah untuk kelangsungan jenis manusia dengan segala martabat kemanusiaannya (QS an-Nisa [4]: 1). Karena itu hubungan seksualitas yang dibenarkan dalam Islam hanyalah yang ada dalam ikatan pernikahan yang sah secara syar’i. Semua hubungan seksualitas di luar ikatan pernikahan adalah ilegal dan menyimpang. Lesbian, homoseksual, anal seks, perzinaan, semuanya adalah perilaku seks yang menyimpang; tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang normal. Semua itu juga menjadi ancaman terhadap keberadaan umat manusia dengan segala martabat kemanusiaannya.

Selain itu terdapat nas yang secara khusus menjelaskan bahwa homoseksual adalah perilaku terlaknat. Rasul saw. bersabda:

«مَلْعُونٌ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ »

Dilaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Nabi Luth (homoseksual) (HR at-Tirmidzi dan Ahmad dari Ibnu Abbas).

Perilaku transgender juga merupakan perilaku yang dilaknat dalam Islam. Ibnu Abbas ra. mengatakan:

«لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ وَالْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ »

Rasulullah saw. telah melaknat wanita yang menyerupai laki-laki dan laki-laki yang menyerupai wanita (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).

Karena itu di dalam Islam, ide dan perilaku LGBT jelas menyimpang dan abnormal. Ide LGBT adalah ide haram. Perilaku LGBT adalah perilaku dosa. Karena itu ide LGBT tidak boleh tersebar di masyarakat. Siapa saja yang menyebarkan, mendukung dan membenarkan ide LGBT jelas berdosa dan layak dikenai sanksi sesuai ketentuan syariah. Negara dalam Islam harus membersihkan dan menjaga masyarakat dari ide LGBT.

Islam menilai homoseksual sebagai dosa dan kejahatan besar. Islam menetapkan sanksi hukum yang berat terhadap pelakunya. Siapa saja yang melakukan perbuatan kaum Nabi Luth dan terbukti dengan pembuktian yang syar’i maka pelaku dan pasangannya dijatuhi hukuman mati, tentu selama itu dilakukan suka rela, bukan karena dipaksa. Ibnu Abbas ra. menuturkan, Rasul saw. bersabda:

« مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ »

Siapa saja yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth, bunuhlah subyek dan obyeknya (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).

Wahai Kaum Muslim:

Dengan ketentuan Islam itu, masyarakat akan bisa dijaga sebagai umat manusia yang berbeda dengan binatang. Masyarakat juga bisa dijauhkan dari berbagai ide dan perilaku berbahaya termasuk LGBT. Semua itu akan terwujud sempurna jika syariah Islam diterapkan secara total dan menyeluruh. Di situlah pentingnya mewujudkan Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah sebagai sistem yang ditetapkan oleh Islam untuk menerapkan seluruh hukum Islam. Oleh karena itu, mewujudkan penerapan syariah Islam secara total dan menyeluruh di bawah sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah harus menjadi agenda utama dan vital bagi umat Islam. Semua elemen umat Islam harus berjuang sungguh-sungguh untuk sesegera mewujudkan Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. WalLâh a’lam bi ash-shawâb

SIAPA PENYELAMAT BANGSA ITU? YAITU PENDIDIKAN BANGSA YANG BERKARAKTER

Dunia remaja dan pelajar Indonesia hingga saat ini masih tetap diwarnai tawuran, kriminalitas, kekerasan, pergaulan bebas, miras dan obat terlarang.  Tentunya, menjadi pertanyaan besar bagi kita semua ada apa dengan pendidikan generasi kita? Dsisi lain, ada fakta bahwa remaja kita berdasar pada hasil survei lembaga swasta baru-baru ini, sebanyak 48,9 persen pelajar di Jakarta bersedia melakukan kekerasan terkait isu agama dan moralitas (vivanews.com, 1 Mei 2011).  Kasus bob yang melibatkan pemuda, pelaku dan korban cuci otak dari kalangan pemuda, dan juga kondisi buruk dunia remaja, memunculkan kembali pemikiran tentang perlunya peserta didik mendapatkan pendidikan karakter ke-Indonesiaan. Karena itulah, pendidikan karakter kebangsaan dicanangkan pada peringatan Hardiknas tahun 2011 lalu.
Masalahnya, benarkah yang dibutuhkan oleh generasi bangsa ini adalah pendidikan karakter kebangsaan? Apakah sudut pandang kebangsaan yang menjadi acuan pemerintah tersebut akan efektif untuk membangun dan memajukan bangsa?  Bagaimana sebenarnya arah pendidikan generasi sehingga menghasilkan sumber daya yang mampu membangun bangsa?
Mengurai Kepentingan
Gagasan pendidikan karakter kebangsaan kembali dikuatkan akhir-akhir ini seiring dengan mencuatnya isu radikalisme agama di kalangan pelajar dan mahasiswa. Adanya keinginan untuk mendirikan Negara Islam di Indonesia dengan cara-cara yang keliru semisal pencucian otak, penipuan dan yang lainnya, dipandang bahaya yang mengancam eksistensi bangsa.  Terlenih pasca reformasi, pembahasan Pancasila, UUD ’45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika dianggap tabu,  yang akhirnya pilar-pilar kebangsaan itu pun mulai dilupakan.  Sikap pembelaan kepada negara dan menjaga kesatuannya semakin luntur.  Sebaliknya, radikalisme maupun semangat untuk ‘mengubah’ negara ini kian menguat.  Seperti kemunculan NII yang selama ini ditengarai pemerintah hendak mendirikan negara Islam di Indonesia dan membubarkan Indonesia.
Berkaitan dengan penangkalan bahaya NII tersebut, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh mengatakan bahwa pendidikan karakter tidak hanya untuk membangun karakter pribadi berbasis kemuliaan semata, tetapi secara bersamaan juga bertujuan membangun karakter kemuliaan sebagai bangsa, yang bertumpu pada kecintaan dan kebanggaan terhadap bangsa dan negara. (kompas.com, 29 April 2011).  Pemerintah juga menyatakan bahwa bahaya idiologi NII harus dilawan dengan idiologi pula.  Untuk meluruskan pemahaman keliru NII harus dilakukan dengan memberikan pemahaman yang benar khususnya kepada pelajar dan mahasiswa yang selama ini menjadi sasaran utama NII.  Karena itulah penangkalan NII harus dilakukan melalui lembaga pendidikan di mana para calon korban tersebut biasa menimba ilmu.
Pendidikan karakter kebangsaan bertumpu pada kecintaan dan kebanggaan terhadap Bangsa dan Negara dengan Pancasila,  UUD NKRI 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai pilarnya.  Dengan konsep ini, diharapkan peserta didik tidak mempan terindoktrinasi ajaran NII yang mengkafirkan negara dan warga negaranya yang tidak masuk golongan mereka.  Tak hanya itu, pendidikan karakter ini juga diharapkan menjadi pilar kebangkitan bangsa yang kini makih terpuruk.  Disinyalir, terpuruknya bangsa disebabkan karena warga negaranya sudah tidak lagi mencintai Pancasila, UUD ’45, NKRI dan lupa ber-Bhinneka Tunggal Ika.  Dalam tataran inilah pendidikan yang mengembalikan peran keempat pilar kebangsaan itu dianggap sangat urgen.
Pendidikan Basis Karakter
Pendidikan berbasis karakter kebangsaan sebenarnya pernah dijalankan bangsa ini di masa awal kemerdekaan.  Kecintaan dan pembelaan yang mendalam terhadap negara menjadi bukti pengaruh pendidikan kebangsaan yang pernah dijalankan.  Namun, seperti yang  kita rasakan, pengaruh pendidikan kebangsaan tersebut ternyata bersifat sementara.  Begitu penjajah (Belanda atau tentara Sekutu) hilang dari bumi nusantara, semangat pembelaan terhadap negara mulai mengendur.
Penguatan sikap kebangsaan kembali dikuatkan di era Orde Baru.  Mengusung slogan pembangunan nasional, Pancasila dijabarkan dalam butir-butir P4.  Berbagai penataran dan lomba-lomba yang mengusung pilar-pilar kebangsaan itupun menjadi acara tahunan wajib yang harus diikuti oleh siswa maupun pegawai pemerintah.  Benar saja, dukungan dan loyalitas kepada pemerintahan pun kian kuat.  Saking kuatnya, mereka hampir-hampir tidak mampu memilah benang pemisah antara kebaikan dan keburukan yang dijalankan pemerintah.  Tiga puluh tahun masa penguatan kebangsaan berbuah kultus pada penguasa yang makin tidak memperhatikan hak-hak rakyatnya.  Bom waktu pun meledak, karena pendidikan kebangsaan ternyata menjadi alat bagi penguasa untuk mendominasi kekuasaan dan mengeliminir hak-hak rakyat.
Mungkin ada sebagian pihak yang berpendapat bahwa dengan kuatnya pendidikan kebangsaan, ancaman disintegrasi, separatisme, radikalisme dan anti Indonesia bisa dikendalikan.  Dan itu pernah dirasakan bangsa ini di era Orba.  Pendapat ini tentu saja tidak sepenuhnya benar, bahkan cenderung membohongi kenyataan.  Sebenarnya, gejolak anti pemerintah yang korup sudah berlangsung meski pendidikan kebangsaan diterapkan pada masyarakat.  Namun, penguasa ternyata lebih pintar menyimpan bobrok demokrasi ini sehingga ada kesan mampu mengeliminasi gejolak anti ke-Indonesiaan.  Berbagai tindakan represif pemerintah saat itu mampu dijalankan dengan rapi.  Masyarakat awam akhirnya mampu dibodohi untuk tunduk kepada kekuatan rezim korup atas nama pembelaan kepada negara.
Pendidikan karakter kebangsaan pada sejarahnya terbukti tidak membawa negara ini maju, malah terbelit dengan berbagai persoalan pelik yang beratnya bisa dirasakan hingga tujuh turunan.  Pendidikan karakter kebangsaan hanya menghasilkan robot-robot pembela bangsa yang tidak mampu membedakan benar-salah, halal-haram ataupun baik-buruk. Generasi yang berkarakter kebangsaan juga terbukti tidak mampu menyelesaikan berbagai masalah bangsa yang kini membelit.
Terlebih lagi, sebenarnya akar persoalan bangsa bukanlah terletak pada tidak diterapkannya Idiologi Pancasila, tapi karena sekulerisme yang menggurita. Sebaik apapun orangnya, sesantun apapun perilaku pelaksana negeri ini, bila rusak sistemnya, maka mereka tidak akan mampu mengubah wajah bangsa.
Sekulerisasi Pendidikan
Penerapan sistem demokrasi dan ekonomi kapitalis sesungguhnya merupakan masalah dasar munculnya berbagai persoalan termasuk didalamnya yang terkait dengan karakter manusia dan aturan yang dibuatnya.  Berbagai tindakan buruk manusia, lahir dari cara pandang terhadap kehidupan dan adanya aturan yang lahir dari cara pandang tersebut.  Saat bangsa ini menganut sistem demokrasi – yang bertumpu pada empat pilar kebebasan yakni kebebasan bertindak, berpendapat, bebas mengeksploitasi sumber daya alam, kebebasan beragama, yang terangkum dalam HAM – maka bisa kita saksikan dan rasakan bahwa aturan yang diterapkan di tengah masyarakat adalah aturan yang liberal.
Dunia gelap remaja semisal bisnis dan konsumsi narkoba, barang haram ini tidak diberantas seutuhnya karena dipandang benda ekonomis sepanjang masih ada orang yang membutuhkannya dan ternyata menguntungkan.  Pergaulan bebas, tidak serius dilarang mengingat bahwa persoalan ini masuk dalam ranah individu yang mempunyai hak asasi manusia untuk melakukan apa saja yang disukainya.  Pornografi-pornoaksi, cenderung dilegalkan karena memberi keuntungan pada pendapatan individu masyarakat maupun Negara dengan pajaknya.  Dan segudang problem lain, termasuk dalam hal pelaksanaan hak beragama.  Kasus semisal ahmadiyah, aliran sesatnya Lia Eden, cuci otak ala NII, dan aliran sesat lainnya tidak kunjung tuntas dan telah membawa banyak korban.
Bila pendidikan dijadikan tumpuan untuk membangun karakter bangsa unggulan, sementara sistem besar yang menjadi pilar tegaknya pendidikan ini berorientasi pada sekularisme dan kapitalisme, akankah berhasil? Jawabnya tentu tidak, tumpuan ini begitu rapuh.  Orientasi pendidikan sudah dibalut kepentingan ideologi kapitalistis.  Bagaimana bisa dilawan dengan gerakan moral yang berbasis pada pilar bangsa yang nyatanya juga sekuleris? Pencanangan pendidikan karakter kebangsaan, di samping tidak akan menyelesaikan persolaan juga menjadi bukti adanya upaya pelanggengan idiologi sekulerisme di negeri ini.  Pendidikan yang selama ini menjadi pintu masuknya pemahaman justru makin terkuasai oleh sekulerisme.
Pendidikan karakter kebangsaan kontra produktif dengan semangat kembali kepada Islam Kaffaah.  Sebab, dalam beberapa sisi, pilar-pilar kebangsaan Indonesia secara sengaja mengarahkan pengembannya untuk lebih mencintai negara melebihi kecintaan kepada Allah SWT.  Padahal Allah SWT telah memperingatkan:
“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai  daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (TQS. At Taubah [9]:24)
Begitu pula Allah SWT telah melarang kaum muslim mengikuti hukum yang tidak berbasis pada ideologi Islam alias hukum jahiliyah, dan sebaliknya memerintahkan untuk menerapkan Islam secara sempurna.
Allah SWT berfirman :
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS. Al Maidah [5] : 50)
Membangun pendidikan karakter kebangsaan hanyalah upaya tambal sulam dari rusaknya sistem kehidupan yang sekuler.  Sungguh, hal itu tidak akan memperbaiki persoalan, justru menambah persoalan baru karena mengokohkan sekulerisme -idiologi yang bertentangan dengan Islam.
Karakter Kepribadian Islam
Karakter kebangsaan bukanlah karakter generasi pembangun bangsa yang shohih, yang mempunyai visi dan misi mengubah negeri menjadi maju, beradab dan kuat.  Sesungguhnya yang dibutuhkan oleh generasi ini adalah pendidikan berbasis karakter yang shohih.  Dalam hal ini, Islam sebagai agama yang pernah membangun sebuah peradaban maju telah memberikan aturan membangun pendidikan yang shohih.  Pendidikan yang dibangun oleh Islam terbukti menghasilkan generasi yang mampu membangun peradaban maju dan kuat.
Sistem pendidikan Islam tersebut menitik beratkan pada terbentuknya karakter kepribadian Islam, bukan semata-mata pembelaan kepada bangsa.  Pendidikan yang bertujuan membentuk karakter kepribadian Islam tentu berbeda dengan karakter kebangsaan.  Sebab, karakter kepribadian Islam dibangun berdasarkan aqidah Islam.  Yang dihasilkan adalah generasi yang memiliki sudut pandang dan pemikiran yang shohih (Islami) dan sikap atau perilaku yang tidak menyimpang dari aturan Sang Khalik.  Hal ini sangat penting, mengingat kunci dari semua persoalan bangsa adalah benarnya (shohihnya)  aturan dan kebijakan yang diterapkan, dan itu dapat terwujud hanya melalui proses pendidikan yang shohih.
Pendidikan Islam tidak saja menghasilkan generasi yang benar dalam sikap dan pemikiran, namun juga semangat yang tinggi dalam menguasai ilmu-ilmu terapan (ilmu pengetahuan dan teknologi).  Hal ini sangat penting untuk membawa bangsa keluar dari krisis multidimensi yang disebabkan oleh lemahnya penguasaan iptek sehingga bergantung pada negara asing.
Pendidikan Islam tidak akan mencetak generasi yang anarkis, meski untuk melawan kedholiman penguasa sekalipun.  Sebab, aqidah dan syariah Islam telah menetapkan metode yang shohih untuk membangun negara, peradaban dan masyarakat.  Bukti atas majunya bangsa yang menerapkan pendidikan Islam telah terukir dalam sejarah panjang kehidupan Daulah Khilafah Islamiyyah sejak Rasulullah Saw mendirikannya di Madinah hingga kelemahannya di abad 19 M.  Sungguh, kaum muslim terdahulu telah menerapkannya, hanya saja mereka kini telah dibutakan oleh sistem kufur yang menutupi keluhuran sistem pendidikan Islam tersebut.

MENDIDIK ANAK ALA ISLAMI

Pejuang Pendidikan New....!!! Menjadi orangtua pada zaman globalisasi saat ini tidak mudah. Apalagi jika orangtua mengharapkan anaknya tidak sekadar menjadi anak yang pintar, tetapi juga taat dan salih. Menyerahkan pendidikan sepenuhnya kepada sekolah tidaklah cukup. Mendidik sendiri dan membatasi pergaulan di rumah juga tidak mungkin. Membiarkan mereka lepas bergaul di lingkungannya cukup berisiko. Lalu, bagaimana cara menjadi orangtua yang bijak dan arif untuk menjadikan anak-anaknya taat pada syariah?
Asah Akal Anak untuk Berpikir yang Benar
Hampir setiap orangtua mengeluhkan betapa saat ini sangat sulit mendidik anak. Bukan saja sikap anak-anak zaman sekarang yang lebih berani dan agak ‘sulit diatur’, tetapi juga tantangan arus globalisasi budaya, informasi, dan teknologi yang turut memiliki andil besar dalam mewarnai sikap dan perilaku anak.
“Anak-anak sekarang beda dengan anak-anak dulu. Anak dulu kan takut dan segan sama orangtua dan guru. Sekarang, anak berani membantah dan susah diatur. Ada saja alasan mereka!”
Begitu rata-rata komentar para orangtua terhadap anaknya. Yang paling sederhana, misalnya, menyuruh anak shalat. Sudah jamak para ibu ngomel-ngomel, bahkan sambil membentak, atau mengancam sang anak agar mematikan TV dan segera shalat. Di satu sisi banyak juga ibu-ibu yang enggan mematikan telenovela/sinetron kesayangannya dan menunda shalat. Fenomena ini jelas membingungkan anak.
Pandai dan beraninya anak-anak sekarang dalam berargumen untuk menolak perintah atau nasihat, oleh sebagian orangtua atau guru, mungkin dianggap sebagai sikap bandel atau susah diatur. Padahal bisa jadi hal itu karena kecerdasan atau keingintahuannya yang besar membuat dia menjawab atau bertanya; tidak melulu mereka menurut dan diam (karena takut) seperti anak-anak zaman dulu.
Dalam persoalan ini, orangtua haruslah memperhatikan dua hal yaitu: Pertama, memberikan informasi yang benar, yaitu yang bersumber dari ajaran Islam. Informasi yang diberikan meliputi semua hal yang menyangkut rukun iman, rukun Islam dan hukum-hukum syariah. Tentu cara memberikannya bertahap dan sesuai dengan kemampuan nalar anak. Yang penting adalah merangsang anak untuk mempergunakan akalnya untuk berpikir dengan benar. Pada tahap ini orangtua dituntut untuk sabar dan penuh kasih sayang. Sebab, tidak sekali diajarkan, anak langsung mengerti dan menurut seperti keinginan kita. Dalam hal shalat, misalnya, tidak bisa anak didoktrin dengan ancaman, “Pokoknya kalau kamu nggak shalat dosa. Mama nggak akan belikan hadiah kalau kamu malas shalat!”
Ajak dulu anak mengetahui informasi yang bisa merangsang anak untuk menalar mengapa dia harus shalat. Lalu, terus-menerus anak diajak shalat berjamaah di rumah, juga di masjid, agar anak mengetahui bahwa banyak orang Muslim yang lainnya juga melakukan shalat.
Kedua, jadilah Anda teladan pertama bagi anak. Ini untuk menjaga kepercayaan anak agar tidak ganti mengomeli Anda—karena Anda hanya pintar mengomel tetapi tidak pintar memberikan contoh.
Terbiasa memahami persoalan dengan berpatokan pada informasi yang benar adalah cara untuk mengasah ketajaman mereka menggunakan akalnya. Kelak, ketika anak sudah sempurna akalnya, kita berharap, mereka mempunyai prinsip yang tegas dan benar; bukan menjadi anak yang gampang terpengaruh oleh tren pergaulan atau takut dikatakan menjadi anak yang tidak ‘gaul’.
Tanamkan Akidah dan Syariah Sejak Dini
Menanamkan akidah yang kokoh adalah tugas utama orangtua. Orangtualah yang akan sangat mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya sendi-sendi agama dalam diri anak. Rasulullah saw. bersabda:
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu dan bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (HR al-Bukhari).
Tujuan penanaman akidah pada anak adalah agar si anak mengenal betul siapa Allah. Sejak si bayi dalam kandungan, seorang ibu bisa memulainya dengan sering bersenandung mengagungkan asma Allah. Begitu sudah lahir, orangtua mempunyai kesempatan untuk membiasakan si bayi mendengarkan ayat-ayat al-Quran. Pada usia dini anak harus diajak untuk belajar menalar bahwa dirinya, orangtuanya, seluruh keluarganya, manusia, dunia, dan seluruh isinya diciptakan oleh Allah. Itu sebabnya mengapa manusia harus beribadah dan taat kepada Allah.
Lebih jauh, anak dikenalkan dengan asma dan sifat-sifat Allah. Dengan begitu, anak mengetahui betapa Allah Mahabesar, Mahaperkasa, Mahakaya, Mahakasih, Maha Melihat, Maha Mendengar, dan seterusnya. Jika anak bisa memahaminya dengan baik, insya Allah, akan tumbuh sebuah kesadaran pada anak untuk senantiasa mengagungkan Allah dan bergantung hanya kepada Allah. Lebih dari itu, kita berharap, dengan itu akan tumbuh benih kecintaan anak kepada Allah; cinta yang akan mendorongnya gemar melakukan amal yang dicintai Allah.
Penanaman akidah pada anak harus disertai dengan pengenalan hukum-hukum syariah secara bertahap. Proses pembelajarannya bisa dimulai dengan memotivasi anak untuk senang melakukan hal-hal yang dicintai oleh Allah, misalnya, dengan mengajak shalat, berdoa, atau membaca al-Quran bersama.
Yang tidak kalah penting adalah menanamkan akhlâq al-karîmah seperti berbakti kepada orangtua, santun dan sayang kepada sesama, bersikap jujur, berani karena benar, tidak berbohong, bersabar, tekun bekerja, bersahaja, sederhana, dan sifat-sifat baik lainnya. Jangan sampai luput untuk mengajarkan itu semua semata-mata untuk meraih ridha Allah, bukan untuk mendapatkan pujian atau pamrih duniawi.
Kerjasama Ayah dan Ibu
Tentu saja, anak akan lebih mudah memahami dan mengamalkan hukum jika dia melihat contoh real pada orangtuanya. Orangtua adalah guru dan orang terdekat bagi si anak yang harus menjadi panutan. Karenanya, orangtua dituntut untuk bekerja keras untuk memberikan contoh dalam memelihara ketaatan serta ketekunan dalam beribadah dan beramal salih. Insya Allah, dengan begitu, anak akan mudah diingatkan secara sukarela.
Keberhasilan mengajari anak dalam sebuah keluarga memerlukan kerjasama yang kompak antara ayah dan ibu. Jika ayah dan ibu masing-masing mempunyai target dan cara yang berbeda dalam mendidik anak, tentu anak akan bingung, bahkan mungkin akan memanfaatkan orangtua menjadi kambing hitam dalam kesalahan yang dilakukannya. Ambil contoh, anak yang mencari-cari alasan agar tidak shalat. Ayahnya memaksanya agar shalat, sementara ibunya malah membelanya. Dalam kondisi demikian, jangan salahkan anak jika dia mengatakan, “Kata ibu boleh nggak shalat kalau lagi sakit. Sekarang aku kan lagi batuk, nih…”
Peran Lingkungan, Keluarga, dan Masyarakat
Pendidikan yang diberikan oleh orangtua kepada anak belumlah cukup untuk mengantarkan si anak menjadi manusia yang berkepribadian Islam. Anak juga membutuhkan sosialisasi dengan lingkungan tempat dia beraktivitas, baik di sekolah, sekitar rumah, maupun masyarakat secara luas.
Di sisi inilah, lingkungan dan masyarakat memiliki peran penting dalam pendidikan anak. Masyarakat yang menganut nilai-nilai, aturan, dan pemikiran Islam, seperti yang dianut juga oleh sebuah keluarga Muslim, akan mampu mengantarkan si anak menjadi seorang Muslim sejati.
Potret masyarakat sekarang yang sangat dipengaruhi oleh nilai dan pemikiran materialisme, sekularisme, permisivisme, hedonisme, dan liberalisme merupakan tantangan besar bagi keluarga Muslim. Hal ini yang menjadikan si anak hidup dalam sebuah lingkungan yang membuatnya berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi dia mendapatkan pengajaran Islam dari keluarga, namun di sisi lain anak bergaul dalam lingkungan yang sarat dengan nilai yang bertentangan dengan Islam.
Tarik-menarik pengaruh lingkungan dan keluarga akan mempengaruhi sosok pribadi anak. Untuk mengatasi persoalan ini, maka dakwah untuk mengubah sistem masyarakat yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam mutlak harus di lakukan. Hanya dengan itu akan muncul generasi Islam yang taat syariah. Insya Allah.

Sembilan Tips Mendidik Anak Taat Syariah
1. Tumbuhkan kecintaan pertama dan utama kepada Allah.
2. Ajak anak Anda mengidolakan pribadi Rasulullah.
3. Ajak anak Anda terbiasa menghapal, membaca, dan memahami al-Quran.
4. Tanamkan kebiasaan beramal untuk meraih surga dan kasih sayang Allah.
5. Siapkan reward (penghargaan) dan sanksi yang mendidik untuk amal baik dan amal buruknya.
6. Yang terpenting, Anda menjadi teladan dalam beribadah dan beramal salih.
7. Ajarkan secara bertahap hukum-hukum syariah sebelum usia balig.
8. Ramaikan rumah, mushola, dan masjid di lingkungan Anda dengan kajian Islam, dimana Anda dan anak Anda berperan aktif.
9. Ajarkan anak bertanggung jawab terhadap kewajiban-kewajiban untuk dirinya, keluarganya, lingkungannya, dan dakwah Islam.